Tingkatan Puasa Menurut Imam Al Ghazali
Imam al Ghazali, ulamak yang sangat masyhur yang lahir dan wafat di
Thus, membagi puasa menjadi tiga tingkatan, yaitu puasa umum, puasa
khusus, dan puasa khusus yang khusus. Disebut puasa umum adalah puasa
yang hanya menahan makan, minum, dan tidak berhubungan suami isteri di
siang hari. Kedua adalah puasa khusus. Disebut puasa khusus, selain
menahan makan, minum, dan tidak berhubungan suami isteri di siang hari,
adalah juga mencegah perbuatan dosa dari semua anggota tubuh seperti
telinga, mata, mulut, dan lainnnya.
Sedangkan yang ketiga adalah
puasa khusus yang khusus, yaitu selain menghindari dari semua yang
membatalkan puasa seperti disebutkan di muka juga menjaga diri dari
perbuatan hati yang melahirkan dosa. Pembagian tersebut terasa jelas.
Akan tetapi sebenarnya jika diperhatikan secara saksama seolah-olah
pengertian puasa itu bermacam-macam. Akhirnya seolah-olah ada puasa
untuk kelompok tertentu dan bukan untuk keloampok lainnya. Padahal
puasa itu adalah sama sebagaimana membaca dua kalimah syahadah, shalat,
zakat, dan juga haji.
Ibadah puasa dan juga kegiatan
ritual lainnya, sebenarnya hanya satu pedomannya. Hanya yang perlu
diperjelas adalah siapa sebenarnya yang diwajibkan untuk berpuasa,
shalat, zakat, haji dan lainnya. Mungkin saja agar menjadi jelas yang
perlu dicari adalah siapa sebenarnya yang diwajibkan untuk bersyahadat,
shalat, puasa, zakat, dan haji itu. Selama pengertian tentang siapa
sebenarnya yang terkena beban untuk menjalankan ritual itu belum jelas,
maka sampai kapan pun kualitas ritual tidak akan berhasil ditingkatkan
dan membawa perubahan perilaku yang diinginkan.
Manusia itu
sebenarnya siapa. Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu. Semua
ulama dan bahkan kaum muslimin pada umumnya sudah memahami bahwa
manusia terdiri atas dzahir dan batin. Yang dzahir ini adalah yang
berbentuk fisik atau tubuh manusia. Sementara itu yang batin adalah
berupa ruh yang ditiupkan oleh Allah swt. (Q. 32:9), pada saat manusia
berusia 4 bulan dan 10 hari, ketika masih berada di dalam kandungan
ibunya.
Ruh itu juga disebut dengan iman, nur atau cahaya, dan
juga disebut kitab (Q.42:52). Ruh itulah sebenarnya yang menjadikan
tubuh manusia dapat menjadi bergerak dan berfungsi. Telinga dengan
adanya ruh memiliki kemampuan untuk mendengar, mata bisa melihat, hidup
bisa menghirup udara, otak bisa berpikir, dan semua anggota badan bisa
bermungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Ketika orang
lagi tidur, maka ruhnya digenggam oleh Allah (Q. 39:42). Pada saat
tidur itu, maka semua anggota tubuh, seperti mata, telinga, mulut, otak,
dan lainnya tidak berfungsi. Baru setelah ruhnya dikembalikan, maka
semua anggota tubuh tersebut dapat berfungsi kembali. Begitu pula,
ketika ruh itu kembali untuk selama-lamanya, atau disebut mati, maka
jasatnya atau semua anggota tubuhnya, sekalipun masih tampak segar,
harus segera dimakamkan.
Mempertimbangkan keterangan tersebut,
maka sebenarnya yang menjadi inti daripada manusia adalah ruhnya, atau
disebut iman, nur, atau kitab sebagaimana disebutkan di muka. Itulah
sebabnya, bahwa yang diseru untuk berbuasa adalah imannya (Q.2:183). Apa
yang seharusnya dipuasakan adalah nafsunya. Di dalam tubuh setiap orang
terdapat apa yang disebut dengan hawa, nafsu, dunia, dan setan.
Kekuatan itulah yang seharusnya dipuasakan, atau dibelenggu dalam
sebulan penuh di bulan Ramadhan, untuk meraih derajad taqwa.
Tubuh
manusia sebenarnya adalah tempat di mana ruh harus ditampung. Tanpa
tubuh maka ruh tidak akan bisa dikenali. Hal itu jika dibuat
perumpamaan, adalah sama dengan benda cair atau gas, maka harus ada
tempatnya. Tanpa tempat maka benda cair tersebut tidak dapat dikenali.
Seumpama teh atau kopi, maka harus ada tempatnya, yaitu gelas dan atau
cangkir. Teh atau kopi, ---------sekedar untuk memperjelas, adalah
ruhnya. Sementara itu gelas atau cangkirnya adalah tubuhnya.
Mengikuti
perumpamaan tersebut, yang seharusnya berpuasa adalah ruh atau imannya.
Sedangkan yang dipuasakan adalah hawa, nafsu, dunia dan syetan.
Kepercayaan Allah yang ada di dalam dada manusia yang kemudian disebut
dengan iman itulah yang seharusnya berpuasa. Demikian pula oleh karena
yang menjadi wadah ruh adalah tubuh, maka tubuh pun ikut dipuasakan,
dengan cara meninggalkan makan, minum, dan hubungan suami isteri di
siang hari. Akan tetapi,, tubuh tetap sebagai tubuh yang diperintah atau
digerakkan oleh ruh atau imannya.
Manakala berpuasa dimaknai
seperti dijelaskan tersebut, maka pembagian puasa menjadi tiga
tingkatan dimaksud menjadi tidak relevan. Puasa yang hanya meninggalkan
makan, minum, dan hubungan suami isteri di siang hari, adalah bukan
puasa yang sebenarnya. Yang berpuasa hanya sekedar tubuhnya dan bukan
manusianya itu sendiri.
Itulah sebabnya, dalam hadits nabi
disebutkan bahwa banyak orang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa
dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga. Hal demikian terjadi,
karena pada hakekatnya mereka tidak berpuasa. Tubuh yang meninggalkan
makan minum dan hubungan suami isteri di siang hari, adalah bukanlah
puasa yang sebenarnya. Sedangkan puasa yang dimaksudkan untuk memperoleh
derajad taqwa, adalah puasanya iman dari ajakan hawa nafsu, dunia dan
syetan. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS