Sumber Perbedaan Dalam Memahami Agama
Berbeda-beda dalam memahami agama sebenarnya tidak menjadi masalah. Yang tidak dibolehkan adalah ketika berbeda kemudian menjadi berselisih. Sebagian mengatakan bahwa pandangannya sendiri yang paling benar. Sedangkan yang lainnya adalah salah. Lebih-lebih lagi, selain menyalahkan juga menganggap sesat dan akan masuk neraka.
Oleh karena perbedaan dan bahkan perselisihan sudah terjadi di mana-mana, saya pernah ditanya, sebenarnya sumber perbedaan itu letaknya di mana. Apakah perbedaan itu muncul oleh karena al Qur’an dan sunnahnya berpotensi melahirkan perbedaan dan kemudian berlanjut terjadinya perselisihan. Ataukah karena sebab lainnya.
Jika perbedaan itu disebabkan oleh karena penafsiran al Qur’an dan hadits, tentu bisa dicari titik temu. Mereka yang saling berselisih diajak bertemu, bertukar pikiran atau berdialog bersama. Manakala yang dicari adalah kebenaran, maka pasti semuanya akan bersikap terbuka. Mereka akan menerima pandangan yang mendasarkan pada argumentasi dan dasar yang kuat. Akhirnya terjadi kesamaan pandangan dan perbedaan yang melahirkan perselisihan berhasil dihindari.
Namun pada kenyataannya, mencari titik temu tidak segampang itu. Ketika mereka bertemu, masing-masing pasti akan mempertahankan pendapatnya sendiri. Argumentasi akan dibalas dengan argumentasi yang dianggapnya lebih kuat. Menjadikan al Qur’an dan hadits sebagai dasar pandangannya juga akan dibalas dengan sumber yang sama, yaitu al Qur’an dan hadits. Akhirnya niat baik untuk mencari titik temu hasilnya justru menjadikan perselisihan semakin tajam.
Jika demikian itu halnya, maka sumber perbedaan dan perselisihan itu sebenarnya dari diri manusia itu sendiri. Mendapatkan pertanyaan tersebut, saya selalu menjawab, bahwa sumber perbedaan dan perselisihan itu sebenarnya adalah berasal dari diri orang yang terlibat itu. Yaitu berasal dari apa yang ada di dalam hati mereka . Setiap orang memiliki beberapa nafsu, yaitu tidak mau kelintasan, tidak mau kerendahan, tidak mau dianggap kurang, dan tidak mau dianggap kalah.
Ke empat nafsu tersebut ada pada setiap orang tanpa terkecuali. Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur dzahir dan unsur batin. Unsur dzahir berupa tubuhnya masing-masing, terdiri atas unsur angin, air, tanah, dan api. Keempat unsur tersebut melahirkan nafsu raikhan, rahmani, jasmani, dan idhafi. Masing-masing memiliki sifat-sifat sebagaimana dikemukakan di muka.
Nafsu tersebut itulah sebenarnya yang menjadikan orang, siapa saja, dalam berdebat, sekalipun perdebatan itu bertujuan untuk memperoleh kebenaran, siapapun tidak mau disebut kalah. Hal demikiajn itu adalah sifat manusia, tanpa terkecuali. Karena itulah, bagi orang yang arif atau bijak, ketika berdebat selalu berusaha mencari cara, bagaimana agar menang, tetapi tanpa menjadikan orang lain merasa kalah.
Cara tersebut seperti gampang diselesaikan, tetapi pada kenyataannya juga tidak mudah. Orang yang bijak biasanya ketika menang tidak ingin kemenangannya diambil semua. Maka terjadi negosiasi, kompromi, atau bukan memilih menang atau kalah, tetapi menang-menang. Hal demikian itu biasanya dilakukan di dalam kegiatan berbisnis dan juga dalam dunia politik. Namun demikian, tidak mudah dilakukan di dalam mencari kebenaran dalam bidang agama. Itulah sebabnya, dalam agama tidak mudah berkompromi.
Oleh karena itu perbedaan dalam agama tidak pernah bisa disatukan. Bahkan di dalam al Qur’an juga dinyatakan bahwa :”lakum diinukum wa liya diin”. Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Selain itu juga disebut tidak ada paksaan dalam beragama. Akhirnya yang terjadi, perpecahan dan bahkan perselisihan tidak pernah berakhir. Menjadi selesai tatkala masing-masing diam, sekalipun sama-sama tetap tidak setuju.
Padahal sebenarnya, ketika semua pihak kembali kepada misi utama diturunkannya agama adalah untuk mendamaikan, merukunkan, dan menenteramkan, maka semua pihak seharusnya akan bersedia mengalah untuk menang. Semuanya seharusnya lebih mementingkan kedamaian dari pada memelihara perselisihan. Lagi pula, bahwa Islam datang untuk menyempurnakan akhlak mulia. Sebagai tandanya di antaranya adalah tatkala seseorang mampu mengalahkan hawa nafsu atau dirinya sendiri. Sebaliknya, tidak sekedar mencari menang. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS