Smart Campus for Smarter Education

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Kutipan ayat dalam Quran Surat Ar-Ra’d tersebut seakan menjadi sinyal untuk umat manusia bahwa perubahan itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa ditolak. Dalam dunia manajemen dan pendidikan, usaha untuk mengubah diri sendiri dikenal sebagai self learning dan self development. Kesadaran untuk meningkatkan diri dalam rangka melakukan perubahan harus ditanamkan kepada diri setiap muslim agar Allah mengubah ketidakberdayaan umat muslim saat ini menjadi kejayaan seperti yang telah dicapai para salafus-shalih.

Perubahan merupakan suatu keniscayaan yang akan mengiringi fase kehidupan manusia mulai dari awal penciptaan sampai masa depan. Setiap generasi memiliki zamannya masing-masing sehingga mereka harus disiapkan untuk bisa menjawab tantangan yang akan terjadi di zaman mereka. Fenomena ini sesuai dengan ungkapan yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak sesuai dengan zamannya karena mereka hidup pada zamannya bukan pada zamanmu”.

Sarana terbaik untuk menyiapkan generasi yang bisa menginspirasi di setiap zaman adalah pendidikan. “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. Perkataan ini disampaikan oleh Nelson Mandela, salah satu changemaker yang memberikan inspirasi dan perubahan besar untuk dunia, terutama di Afrika. Pendidikan memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia. Dengan kata lain, pendidikan menjadi bahan bakar manusia dalam menggerakkan perubahan.

Pendidikan yang baik adalah yang mampu menyiapkan generasi untuk menghadapi tantangan di masa depan. Perubahan eksponensial telah terjadi di sekitar anak didik kita yang merupakan generasi Alpha. Mereka adalah digital native. Dunia mengalami perubahan yang signifikan ketika mesin uap pertama kali ditemukan pada 1800-an. Fenomena ini menandakan lahirnya revolusi industri yang pertama.

Perubahan ini terjadi semakin cepat ketika inovasi demi inovasi terus digulirkan tanpa henti oleh manusia yang selalu berpikir tentang continuous improvement. Sehingga, lahirlah penemuan yang paling penting di milenium ini yang kita kenal sebagai internet. Internet memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap proses kehidupan yang mengakibatkan perubahan terhadap sikap dan perilaku manusia. Hal ini terjadi karena sumber daya utama yang dibutuhkan manusia bisa didapatkan dengan sangat mudah dan cepat. Sumber daya tersebut adalah informasi.

Sejak ditemukannya jaringan 4G, perkembangan teknologi menjadi semakin maju dengan munculnya newcomers yang banyak mendisrupsi incumbent. Para pendatang baru ini menyajikan proses dan cara-cara baru yang lebih relevan terhadap perkembangan zaman sehingga mereka mampu keluar sebagai pemenang. Gelombang disrupsi ini menjadi semakin kuat ketika jaringan 5G diluncurkan. Teknologi yang dulu hanya bisa dinikmati melalui film science fiction mulai bisa diwujudkan pada masa ini. Sekarang ini, jaringan 6G telah diuji coba di berbagai negara, termasuk Jepang. Lantas, teknologi seperti apa lagi yang akan hadir membersamai jaringan yang 20 kali lebih cepat dari 5G ini?

Gambaran ini bukan karangan fiksi yang ditulis di dalam buku cerita. Namun, fenomena ini terjadi secara nyata di lingkungan sekitar anak didik kita. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, “apakah anak didik kita akan mampu mengimbangi inovasi teknologi yang luar biasa ini?”. Tentu pertanyaan ini tidak hanya perlu dijawab oleh anak didik kita, tapi juga harus dijawab oleh siapapun yang bertanggung jawab dalam menyiapkan mereka, para pendidik. Pendidikan yang paling utama dimulai dari rumah. Sebab, di dalam rumah ada orang tua yang merupakan madrasah pertama dan utama bagi semua anak. Sebagaimana yang tertuang dalam syair arab dari Hafiz Ibrahim, “ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya, jika engkau persiapkan dia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan generasi yang baik pondasinya”.

Anak didik kita pada masa sekarang ini merupakan generasi Alpha. Mereka adalah digital native, sedangkan generasi sebelumnya merupakan digital immigrant. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat dekat dengan teknologi digital sejak mereka dilahirkan, berbeda dengan para pendahulunya. Fenomena ini mengakibatkan mereka mendapatkan surplus informasi, bahkan pada usia yang sangat dini. Bukan hanya informasi yang mereka dapatkan, perangkat digital menawarkan kemudahan dan proses yang instan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Cukup menggerakkan jari, semua yang diinginkan langsung tersaji, sangat instan. Fenomena ini tentu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku mereka.

Lantas bagaimana menghadapi generasi yang sudah kecanduan dengan perangkat digital seperti ini?. Apakah proses pendidikan harus memutus total akses mereka terhadap teknologi? Mari kembali lagi pada pernyataan Ali bin Abi Thalib bahwa kita diminta untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya. Jadi, memberikan akses penuh tanpa kontrol bukan hal yang bijak dilakukan seorang pendidik. Namun, memutus akses secara penuh juga akan melawan sunnatullah terkait perkembangan zaman. Bahkan, bisa menimbulkan culture shock ketika mereka kembali berbaur dengan teknologi. Teknologi bukan benda untuk ditakuti atau sesuatu yang haram untuk dijauhi. Tidak ada hukum pada alat. Teknologi seperti pisau yang akan bermanfaat atau berbahaya tergantung dengan cara menggunakannya.

Para pendidik harus mampu mengintegrasikan kehadiran teknologi ini sebagai co-assistant dalam proses pendidikan. Pendidik berperan sebagai fasilitator dan integrator yang mendorong anak didik untuk bisa berkembang lebih cepat dengan bantuan teknologi. Semangat menghadirkan smart classroom, smart building, bahkan smart environment harus dimiliki oleh pendidik untuk mengalihkan fokus para generasi Alpha ini ke arah penggunaan teknologi yang lebih produktif. Adopsi teknologi dan pembangunan digital culture harus berjalan beriringan agar integrasi teknologi melahirkan konstruksi positif dalam proses pendidikan. Bukannya adopsi teknologi ini memiliki celah untuk disalahgunakan? Betul. Dampak negatif terhadap teknologi wajib diwaspadai dengan menyiapkan sistem kontrol yang baik. Namun, hal ini tidak menjadi alasan untuk memutus akses terhadap teknologi. Bukannya menyelisihi sunnatullah juga akan berdampak buruk bagi anak didik kita? Bisa jadi dampaknya justru lebih besar. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh: Ustadz Imam Baehaqi, MM. - (Chief of Management of Information and Technology Thursina IIBS)

Share this post