Siapa Yang Berpuasa, Aku Atau Tubuhku
Judul dalam tulisan ini mungkin oleh sementara orang dianggap aneh, paling tidak bisa jadi dianggap tidak lazim. Siapa sebenarnya yang dimaksud aku pada diriku ini. Apakah setiap orang yang mengatakan aku, pasti sudah tahu siapa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kata aku itu.
Tanpa diajari oleh siapapun, secara reflektif, ketika seseorang menyebut kata aku, tangan kanannya menunjuk pada dadanya. Seolah-olah yang bersangkutan ingin menunjukkan bahwa aku yang dimaksud itu berada di dalam dadanya.
Tanpa disadari pula, seseorang mengatakan kakiku sakit, perutku kenyang, hidungku tersumbat, telingaku tidak bisa mendengar, mataku terkena debu, kepalaku pusing, otakku terasa capek, dan seterusnya. Kata aku yang disambungkan dengan salah satu anggota badan tersebut menunjukkan miliknya. Sebutan kakiku berarti kaki milikku. Kepalaku menunjuk pada kepala miliknya.Otakku berarti, otak yang dipunyainya.
Ungkapan tersebut tidak salah, tetapi aku yang dimaksudkan itu sebenarnya yang mana. Siapa sebenarnya yang memiliki kaki, tangan, rambut, mata, hidung, pikiran dan seterusnya yang disebut miliknya itu. Lalu aku yang memiliki semua anggota tubuh dimaksud sebenarnya siapa. Kita sedang berada di bulan Ramadhan, kiranya berguna merenungkannya sejenak, siapa sebenarnya aku yang sedang berpuasa ini.
Manusia selain terdiri atas dzahir juga batin. Dzahir manusia berasal dari hubungan suami isteri antara ayah dan ibunya masing-masing. Maka lahirlah manusia dalam bentuk tubuh yang bisa dilihat, diraba, dan juga difoto atau digambar. Tubuh ini tidak sempurna manakala tidak disempurnakan oleh Allah dengan ditiupkan ruh. Di katakana di dalam al Qur’an : “Aku sempurnakan dengan aku tiupkan ruh, dan aku jadikan pendengaran, penglihatan, dan hati. Tetapi sedikit sekali orang yang bersyukur. Ruh inilah yang selama ini disebut manusia dalam pengertian batinnya.
Bahkan jika direnungkian secara mendalam, justru ruh inilah sebenarnya yang menjadi kekuatan hingga manusia bisa hidup. Dengan ruh inilah manusia bisa mendengarkan, melihat, merasakan, berpikir, berjalan, dan mengembangkan sains dan teknologi yang hasilnya luar biasa ini. Oleh karena itulah, yang disebut “aku” adalah ruh ini.
Ruh yang dimaksud pada saat manusia tidur melepaskan diri dari tubuhnya. Dalam Bahasa al Qur’an digenggam oleh Allah. Oleh karena itu, pada saat manusia sedang tidur, sekalipun masih memiliki mata, telinga, hidung, mulut, otak dan sebagainya, semuanya tidak bisa berfungsi, oleh karena yang punya yaitu ruhnya sedang tidak berada di tubuhnya.
Apalagi, ketika ruh itu sudah diambil dan kembali untuk selama-lamanya, maka tubuh dan semua perangkatnya tidak berguna lagi. Karena tubuhnya sudah ditinggal pemiliknya, yaitu ruhnya. Akhirnya, sekujur tubuhnya, yang kemudian disebut jasad, harus segera dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Jasad itu dikuburkan oleh karena sudah ditinggal oleh pemiliknya untuk selama-lamanya.
Jika dipikir dan direnungkan secara mendalam, sebenarnya yang disebut “aku” adalah pemilik tubuh yang tampak dan dapat dilihat oleh siapapun. Tubuh ini, diumpamakan kopi, atau the, adalah cangkir, gelas, atau sekedar tempatnya. Intinya atau yang akan diminum adalah kopi dan atau tehnya itu. Ruh adalah inti manusia yang sebenarnya. Jasmani atau tubuh hanyalah sebagai tempat atau wadah belaka.
Oleh karena itu, jika seseorang berpuasa, maka yang berpuasa sebenarnya adalah “aku”. Sedangkan yang dimaksudkan dengan aku, bukan bersifat jasmaniah, melainkan ruhaniah. Berbeda dengan ketika makan dan minum yang dimaksudkan adalah agar tidak lapar dan tidak haus. Sifatnya adalah jasmaniah. Sedangkan berpuasa yang ingin diraih adalah agar menjadi bertaqwa. Sifatnya adalah ruhaniah.
Taqwa bukan bersifat fisik, melainkan berada pada wilayah batin. Yang bertaqwa itu adalah “aku”. Maka yang dilatih dan dipuasakan seharusnya adalah apa yang ada di dalam hati. Menghindari makan, minum, dan hubungan suami isteri di siang hari sebenarnya hanyalah sekedar menguji, apakah dengan keadaan lapar, haus, dan dorongan sek, masih mampu menjauhkan hawa nafsu yang dipuasakan.
Atas dasar pengertian tersebut, banyak orang berpuasa disebut tidak memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Karena yang dipuasakan hanya perut miliknya “aku” dan bukan akunya sendiri. Puasa yang dimaksudkan agar mendapat derajad taqwa adalah yang berhasil mempuasakan “aku” dari godaan hawa, nafsu, dunia, dan setan. Jika lulus, itulah disebut bertaqwa, derajad paling mulia di hadapan Allah dan rasulNya. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS