Merenungkan Praktek Keberagamaan
Agama di mana-mana dianggap penting, kecuali oleh masyarakat yang memang tidak paham tentang agama. Bagi orang yang tidak mengerti, agama dianggap hanya sebagai pelarian dari keputus-asaan. Tuhan yang dipercayai adanya oleh masyarakat beragama hanya dianggap sebagai karangan oleh orang yang mempercayai agama itu sendiri. Ada juga yang mengatakan bahwa agama itu hanya penting bagi orang yang gagal dalam menjalani hidupnya. Misalnya, gagal dalam berekonomi, berpolitik, sosial dan lainnya.
Dalam suatu waktu, saya pernah berbincang dengan orang yang sama sekali belum mengenal agama. Ketika sedang mengawali perbincangan tentang agama, langsung saya disodori data tentang indeks keberagamaan. Saya ditunjukkan lewat data itu, bahwa agama hanya penting bagi bangsa-bangsa yang eknomimi dan pendidikannya terbelakang. Lewat data itu sebenarnya secara langsung memberi tahu saya, bahwa dia sudah tidak perlu agama karena hidupnya sudah sukses.
Namun anehnya, di negara yang tidak mempercayai agama sekalipun, masyarakat juga masih menghormati orang yang telah meninggal dunia. Penghormatan tersebut, bukankah dapat dimaknai bahwa mereka secara tidak sadar juga mempercayai agama. Mereka juga tidak melihat manusia hanya dari aspek tubuhnya, tetapi juga ruh atau batinnya. Orang yang sudah meninggal dianggap masih perlu dihormati. Di Rusia, masyarakat yang tidak mempercayai adanya Tuhan, jenazah juga dimakamkan. Para tokohnya juga dimakamkan di tempat terhormat. Pada hari-hari tertentu banyak oring berkunjung ke makam tersebut.
Demikian pula di Jepang, penghormatan kepada orang yang sudah meninggal dunia juga dilakukan. Pada saat-saat tertentu mereka memberikan sesaji dengan menyediakan benda-benda yang menjadi kesenangan sewaktu mereka masih hidup, misalnya kacamata, topi, dan sejenisnya. Bagi sementara orang Jepang yang disebut tuhan adalah apa saja yang menjadikan hidupnya bisa bertahan. Ketika menyadari bahwa makanan menjadikan dirinya hidup, maka pada saat itu makanan dipandang sebagai tuhannya. Begitu pula, ketika air dan benda-benda lainnya dianggap memberi kekuatan untuk hidup, maka air dan lain-lain tersebut dianggap sebagai tuhannya.
Merenungkan hal tersebut, sebenarnya semua orang, baik yang mempercayai adanya tuhan atau tidak, sebenarnya pada dirinya telah ada naluri untuk mengakui adanya tuhan. Pada umumnya tuhan dipandang sebagai sesuatu yang telah memberi kehidupan. Beragama dipandang sebagai ekspresi rasa berterima kasih kepada penciptanya. Selain itu, agama dijadikan sebagai dasar beretika dalam berperilaku sehari-hari. Sebagaimana dikemukakan di muka, orang juga mempercayai ada kehidupan setelah mati. Agama, tetrmasuk Islam, juga menjadikannya sebagai dasar berperilaku yang terbaik.
Islam juga memberikan pedoman di dalam kehidupan, agar antar sesama saling mengenal, memahami, menghargai, menyayangi, dan bertolong menolong. Manusia dipandang sebagai ummat yang satu. Selain itu, Islam juga memperkenalkan siapa sebenarnya Tuhannya, siapa dirinya sendiri, nabi dan rasul, malaikat, kitab suci, kiblat, tentang kehidupan setelah mati, dan lain-lain. Juga memperkenalkan bahwa, Muhammad saw., diutus oleh Allah swt., ke muka bumi adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.
Melalui berbagai jenis kegiatan ritual, seorang muslim diharapkan akhlaknya menjadi semakin baik. Sholat misalnya, adalah agar orang yang menjalankannya berhasil menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Orang yang menjalankan shalat agar hatinya bersih dan bahkan suci. Berpuasa di bulan Ramadhan agar bertaqwa. Pada setiap tahun, orang Islam dianjurkan membayar zakat, agar rezki yang diperolehnya menjadi suci. Demikian pula ibadah haji, agar sepulangnya menjadi orang yang bertaqwa dan berakhlak mulia.
Sedemikian indah tuntunan agama itu bagi kehidupan manusia. Hanya di dalam praktek kehidupan sehari-hari, nilai-nilai kemanusiaan yang agung dan indah tersebut belum sepenuhnya berhasil diwujudkan. Menyangkut kegiatan ritual, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, dampaknya terhadap kehidupan di akherat, kiranya tidak seorang pun yang mengetahui. Apakah seseorang akan berhasil dimasukkan ke surga atau tidak, adalah hak prerogative Allah dan rasulNya. Tidak seorang pun yang mengetahuinya.
Hal yang terkait dengan kehidupan di akherat, adalah sepenuhnya menjadi kewenangan Allah dan rasulNya. Boleh saja seseorang merasa bahwa agamanya adalah paling baik dan paling benar. Akan tetapi sebenarnya, hal itu adalah merupakan hak Allah dan rasulNya. Oleh karena itu, tatkala seseorang mengklaim dirinya, organisasinya, alirannya, dan madzhabnya yang paling benar, sebenarnya hanya sebatas menurut dirinya sendiri. Sementara itu, siapa yang senyatanya benar, tentu tidak akan ada orang yang tahu. Semua masih menunggu di akherat kelak.
Namun ada sementara orang, yang menuntut agar pemeluk agama mampu menuinjukkan kebenaran agama lewat perilaku kehidupan sehari-hari . Misalnya, orang beragama mampu menunjukkan suasana kasih sayang di antara sesama, selalu merawat persatuan, tolong menolong, peduli pada persoalan sosial. Sebaliknya, tatkala umat beragama masih saja terjadi konflik, berebut pengaruh, berpecah belah, berselisih, saling berseteru, maka agamanya dipertanyakan. Agama diharapkan fungsional, berhasil membangun kehidupan yang damai, saling mengasihi, rukun dan tenteram.
Dalam kehidupan nyata, agama diharapkan menjadi kekuatan pemersatu, saling hormat- menghormati, saling kasih saying, bertolong-menolong, dan seterusnya. Agama diidentikkan dengan kebaikan, kemuliaan, dan ketinggian, atau kualitas hidup. Sayangnya, pada kenyataannya di mana-mana masih jauh panggang dari api. Sebatas bersatu saja belum berhasil diwujudkan, bahkan oleh tokohnya sendiri. Akhirnya, agama belum sepenuhnya dijadikan pegangan dalam menjalani hidup yang berkualitas. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS