Menjalankan Ajaran Islam “Bersatu” Ternyata Tidak Mudah
Persatuan sebagai ajaran Islam yang sedemikian penting, ternyata mulai dari zaman dulu hingga sekarang tidak mudah dijalankan. Setiap tokoh Islam menyerukan agar umatnya bersatu. Bersatu adalah ajaran Islam yang bersumber dari al Qur’an maupun hadits nabi. Karena itu seharusnya dapat dilaksanakan. Tetapi anehnya, kapan saja dan di mana-mana, ajaran Islam yang satu ini masih terasa gagal dilaksanakan.
Atas kegagalan itu, para ulama dan tokoh Islam belum berputus asa dalam menjelaskan konsep yang dipandang indah dan penting ini. Mereka menyadari bahwa umat Islam di mana-mana menjadi lemah oleh karena sekedar bersatu saja belum berhasil diwujudkan. Berkelompok-kelompok, beraliran, dan bermadzhab masih mewarnai kehidupan umat Islam. Berbeda sebenarnya tidak masalah, asalkan tetap bersatu. Akan tetapi mereka tidak bersatu karena berbeda-beda itu.
Selama masa covid 19 ini, sekalipun hanya lewat online, sudah beberapa kali, saya diundang untuk mengikuti seminar tentang persatuan ummat, atau ukhuwah Islamiyah. Semua pembicara mengatakan bahwa persatuan atau ukhuwah itu sedemikian penting. Ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi menyebutnya dengan jelas. Tidak seorang pun dalam seminar yang saya ikuti berkali-kali ada yang membantah tentang pentingnya persatuan dan ukhuwah Islamiyah.
Perintah Bersatu dipandang penting karena datang dari Allah dan rasulNya. Logikanya jika perintah itu sudah jelas, yaitu bersumber dari al Qur’an dan hadist, dan telah diyakini kebenarannya oleh para ulama, maka seharusnya segera dilaksanakan. Seminar itu juga melibatkan berbagai tokoh atau ulama dari kelompok yang berbeda-beda. Di tempat seminar, mereka bersepakat, seiya sekata, mengatakan persatuan penting. Tetapi anehnya, ketika meninggalkan tempat seminar, masing-masing kembali kepada perilaku aslinya, sulit menjalankannya.
Dalam seminar dimaksud disebut-sebut tentang bebarapa sebab yang menghalangi persatuan, misalnya adanya sesuatu yang diperebutkan, adanya aliran atau paham yang berbeda, dan disebut bisa saja ada pihak luar yang berkepentingan agar ummat Islam tidak bersatu. Artinya, para tokoh dan ulama telah paham betul bahwa persatuan tidak cukup dihimbaukan, tetapi menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. Tetapi, disadari atau tidak, anggapan betapa penting persatuan baru sampai pada ucapan, dan belum sampai pada kekuatan penggerak yang sebenarnya, ialah hati masing-masing orang.
Suatu pengalaman yang menyedihkan, dalam suatu diskusi terbatas tentang agama di Jepang, saya merasa terpukul mendengarkan statemen yang menyakitkan hingga tidak pernah bisa saya lupakan. Seorang guru besar di sebuah kampus mengatakan bahwa umat Islam, jangankan menyatukan ummatnya yang sedemikian banyak, sebatas menyatukan apa yang ada pada diri mereka sendiri tidak berhasil. Seorang guru besar dimaksud mengatakan bahwa umat Islam itu antara yang mereka ucapkan dan mereka lakukan berbeda, dan belum lagi dengan apa yang ada di hati mereka. Mereka mencontohkan, umat Islam mengatakan bahwa bersatu itu penting, tetapi di mana ada umat Islam yang bersatu.
Merenungkan atas persoalan yang belum diperoleh jawabnya itu, saya berpikir bahwa jangan-jangan ada cara atau pendekatan yang belum banyak dicoba untuk menyatukan ummat ini. Bahwa bersatu sebenarnya adalah perbuatan apa yang ada di dalam hati. Hati itulah sebenarnya yang harus dipersatukan. Orang-orang yang hatinya telah menjadi satu, maka sekalipun tanpa disuruh bersatu, mereka akan mersatu dengan sendirinya. Agar bersatu, maka ummat Islam harus selalu bertemu di tempat “kesatuan”. Tempat “kesatuan” itu adalah disebut Baitullah.
Namun sayangnya, tempat kesatuan itu sudah dilupakan. Orang menyebut ka’bah, baitullah, dan bahkan pada setiap menjalankan sholat, ------setidaknya lima kali sehari semalam , tidak selalu merasa berada di tempat mulia itu. Bahkan, sekalipun secara fisik telah berada di Masjidil Haram, yaitu ketika sedang menjalankan ibadah haji atau umrah, mereka tidak selalu merasa atau ingatannya berada di tempat itu. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa tempat untuk mempersatukan hati umat Islam sudah lama hilang atau dilupakan.
Dalam berdiskusi tidak resmi dengan beberapa tokoh umat Islam, saya pernah melontarkan hal tersebut, bahwa ummat sulit diajak bersatu oleh karena mereka tidak pernah merasa berada di tempat kesatuan, bahkan ketika sedang menjalankan shalat sekalipun. Mereka shalat menghadap kiblat, tetapi ingatannya kemana-mana. Itulah di antara sebabnya, persatuan menjadi sulit diwujudkan karena mereka tidak pernah berada di tempat kesatuan. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS