Menggali Hakikat Puasa
Sebenarnya ibadah puasa bukan merupakan tradisi baru. Sejak sebelum Muhammad saw., diutus sebagai rasul, puasa telah dilakukan oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Nabi Ibrahim, nabi Dawud dan lain-lain telah menjalankan ibadah puasa. Itulah sebabnya, dikenal istilah puasa nabi Ibrahim, Puasa Nabi Dawud, dan sebagainya. Demikian pula al Qur’an, ketika menyampaikan perintah berpuasa juga menyebut bahwa puasa juga telah diwajibkan kepada ummat terdahulu.
Tentang bagaimana puasa seharusnya dijalankan telah dipahami pada umumnya oleh kaum muslimin. Para ulama, baik lewat ceramah atau buku-buku yang ditulis, telah memberikan penjelasan tentang bagaimana puasa seharusnya dijalankan. Pertanyaan yang masih seringkali muncul terkait hakekat puasa itu sendiri.
Pertanyaan misalnya, mengapa pada bulan Ramadhan setan dibelenggu, pintu surga dibuka, sedangkan pintu neraka ditutup, tetapi masih ada orang berbuat dosa. Juga, jika tujuan berpuasa adalah untuk meraih derajat taqwa, mengapa yang dilakukan harus mencegah makan, minum, dan meninggalkan hubungan suami isteri di di siang hari. Apa sebenarnya rahasia di balik itu.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya bukan belum dijawab, tetapi bisa jadi jawaban yang diperoleh belum memberikan kepuasan. Pertanyaan misalnya, jika setan-setan itu dibelenggu di bulan Ramadhan, mengapa masih ada pencuri, pembohong, koruptor, permusuhan, tipu menipu, dan lain-lain. Setan mana yang masih tersisa belum dibelenggu pada bulan Ramadhan.
Pertanyaan tersebut akan menjadi jelas jawabnya jika diketahui hakekat siapa sebenarnya yang harus berpuasa, dan apa pula yang seharusnya dipuasakan. Tanpa memahami hakekat puasa yang sebenarnya, pertanyaan tersebut akan berulang-ulang muncul. Bahkan pertanyaan lainnya juga akan menyusul, yaitu misalnya, mengapa orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga.
Seruan berpuasa di dalam al Qur’an ditujukan kepada mukmin. Pertanyaannya mukmin itu sendiri sebenarnya siapa. Dijelaskan bahwa, mukmin itu adalah hamba Allah di dalam hati, atau kepercayaan Allah yang ada pada setiap diri manusia. Hamba Allah itu bernama mukmin. Kebanyakan orang memahami bahwa yang diwajibkan berpuasa adalah tubuh manusia. Padahal seruan itu ditujukan kepada mukmin. Maka, siapa sebenarnya yang dimaksudkan dengan sebutan mukmin itu.
Mukmin itulah sebenarnya yang diwajibkan berpuasa, yaitu mempuasakan hawa nafsu. Selama Bulan Ramadhan, mukmin diwajibkan mempuasakan hawa, nafsu, dunia, setan yang ada pada setiap diri manusia. Selain di bulan Ramadhan, hawa, nafsu, dunia, setan yang ada pada setiap diri manusia diberi keleluasaan. Tetapi pada bulan Ramadhan supaya dipuasakan, ditahan, dikekang, agar tidak melalukan kegiatannya. Itulah sebenarnya yang dimaksud dengan berpuasa.
Memahami agama akan menjadi sempurna manakala melihat dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi syari’ah dan dimensi hakekatnya. Dimensi syari’ah, berpuasa adalah menahan tidak makan, minum, dan tidak melakukan hubungan suami isteri di siang hari. Sedangkan dimensi hakekat adalah memahami subtansi, esensi, dan nilai terdalam dari ibadah puasa itu sendiri.
Ada ungkapan bahwa syari’ah tanpa hakekat adalah batal, sementara itu hakekat tanpa syari’ah adalah hampa. Ungkapan ini memberikan petunjuk bahwa kedua hal tersebut, semuanya harus mendapatkan perhatian. Puasa pada wilayah syari’ah adalah meninggalkan apa saja yang membatalkan puasa. Sementara itu, puasa dalam pengertian hakekat, menyangkut siapa yang berpuasa dan apa pula yang dipuasakan. Pernyataan aku sedang berpuasa, maka perlu dijelaskan, siapa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kata ‘aku” itu.
Memahami siapa “aku” ternyata tidak mudah. Dalam diri manusia ada yang dzahir dan ada yang batin. Sama dengan ketika kita minum kopi. Menujuk kata kopi, yang kita lihat adalah gelas dan cairan yang disebut kopi. Begitu juga dalam memahami manusia, ada tubuh manusia dan ada ruh, atau sehari-hari disebut "aku".. Yang berpuasa adalah “aku”, yang kemudian disebut ruh, nur, dan iman. Iman atau mukmin itulah yang sebenarnya berpuasa.
Manakala aku, atau disebut mukmin yang berpuasa, maka yang dipuasakan tentu bukan sekedar fisiknya atau perutnya, melainkan adalah kekuatan yang selalu menggangu mukmin, ialah hawa, nafsu, dunia, dan setan. Pada bulan puasa, agar seseorang meraih derajat taqwa, maka harus mempuasakan hawa, nafsu, dunia dan setan. Artinya, kekuatan tersebut harus dikekang, tidak boleh dibiarkan leluasa. Itulah sebenarnya, makna “setan” yang seharusnya dibelenggu.
Selanjutnya, siapa sebenarnya yang membelenggu, tentu jawabnya adalah ‘aku” atau mukmin yang sedang berpuasa. Setan mana yang dibelenggu. Jawabnya adalah setan yang berada di dalam tubuhnya sendiri. Manakala “aku” tidak mampu membelenggu hawa, nafsu, dunia, dan setan yang ada di dalam dirinya sendiri, maka puasanya tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.
Manakala puasa dimaknai secara komprehensif, baik dimensi syari’ah dan hakekatnya, maka puasa tidak sekedar menahan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri di siang hari. Berpuasa menjadi mempuasakan kekuatan yang ada pada diri setiap manusia, yaitu hawa nafsu, dunia, dan setan. Puasa demikian itulah yang akan mengantarkan kepada derajad taqwa. Jika tidak, maka hasilnya menjadi tidak sempurna. Bahkan, disebut tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Wallahu a’lam
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS