Mengembalikan Rasa Bangga Sebagai Warga Bangsa
Jika dirasakan secara saksama bangsa ini telah kehilangan sesuatu
yang amat berharga, yaitu karakter atau dalam Islam disebut akhlak.
Akibatnya sudah tidak ada lagi yag bisa dibanggakan. Bukan bangga di
hadapan orang asing, tetapi juga di hadapan generasi mendatang secara
sambung menyambung. Sebuah kecelakaan yang amat parah, ketika sebuah
generasi tercatat dalam sejarah gagal mewariskan nilai-nilai yang
dipandang mulia dan membanggakan.
Generasi 1945 berbangga karena
telah meninggalkan sejarah perjuangan yang heroik, berhasil memerdekan
bangsanya dari penjajah. Seharusnya generasi berikutnya juga berhasil
meninggalkan prestasi yang tidak kalah berharganya. Anak cucu akan
bercerita bahwa kakek dan leluhurnya mati di medan perang, membela
rakyat yang lemah dan miskin, mengusir penjajah. Mereka akan merasa
bangga menjadi keturunan pahlawan yang telah memperjuangkan dan membela
bangsanya. Leluhurnya lahir bukan sia-sia, tetapi mati justru karena
membela kebenaran dan generasi setelahnya.
Sangat berbeda umpama
terjadi, generasi yang tidak bisa diceritakan tentang kehebatannya.
Bahkan sebaliknya, misalnya justru disebut-sebut menyandang karakter
dan akhlak yang rendah. Kekayaan alam yang melimpah tidak mendatangkan
kemakmuran, tetapi justru sebaliknya, menanggung hutang menumpuk.
Rasanya sedih jika generasi sekarang ini tercatat dalam sejarah, bahwa
penjaranya penuh sesak dan bahkan tidak muat, diakibatkan oleh
banyaknya orang tertangkap dan diadili karena korupsi. Generasi ke
depan akan berbicara bahwa bangsanya telah mewariskan kesalahan fatal.
Dimulai
dari kecintaannya terhadap harta yang berlebihan, generasi ini telah
melakukan apa saja tanpa kalkulasi secara cermat. Kekayaan alam
terkuras habis, hutang menumpuk, rakyat miskin, tidak terdidik secara
benar, dan berkarakter atau berakhlak rendah. Oleh karena terlalu
mencintai harta, justru apa yang didapat tidak seimbang dengan
pengorbanan yang telah dikeluarkan. Bekerjasama dengan asing tanpa
menghitung resiko jangka panjang, ternyata membebani generasi ke
generasi berikutnya.
Kearifan para tokoh berbagai bidang menjadi
kering. Agama kehilangan ruhnya. Semua diukur dengan uang dan hanya
untuk keperluan jangka pendek, atau hanya untuk hari ini. Wawasan jangka
panjang dikorbankan oleh kepentingan hari ini. Berpikir pendek dan
dekat mendominasi dibanding berpikir mendasar dan berjangka Panjang.
Para elite seharusnya tidak sekedar berpikir untuk hari ini, tetapi
berjangka panjang, sehingga hasilnya dapat dibanggakan oleh generasi
mendatang secara turun temurun.
Birokrasi diwarnai oleh uang di
semua sektor. Mereka berpandangan bahwa apa saja bisa diraih asalkan ada
uang. Bahkan hingga lembaga Pendidikan, mulai dari PAUD hingga
perguruan tinggi sudah mengedepankan uang dibanding prestasi keilmuan.
Orang pintar yang bergelar Doktor dan professor tidak dihargai jika
tidak mendatangkan uang. Sebaliknya petinju dan artis lebih dihormati
karena bisa dijual. Sedangkan professor dan Doktor belum tentu laku
dijual.
Kyai dan ulama juga sudah tidak sedikit yang dekat
dengan kekuasaan. Lagi-lagi motifnya adalah uang. Kita lihat waktu
kampanye apa saja. Kyai dan ulama dimanfaatkan untuk menghimpun suara.
Akibatnya wibawa elite agama pun runtuh. Tokoh agama tidak dihargai.
Agama ikut dijadikan bahan tertawaan. Begitulah yang terjadi. Mengerikan
sekali. Yang belum banyak terjadi adalah salingh bunuh membunuh untuk
berebut uang. Tapi tanda-tanda kearah itu sebenarnya sudah mulai tampak.
Rasanya saat ini, kita sedang berada di zaman gelap. Yang
kelihatan sekedar uang, harta, dan kuasa. Sesuatu bisa bertahan
asalkan masih mendatangkan hal-hal yang bersifat duniawi tersebut.
Suasana seperti ini, rakyat menjadi tidak berdaya. Mereka miskin dan
menderita, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk keluar dari belenggu
keadaan yang menyengsarakan dimaksud.
Pertanyaan besar dan
mendasar adalah, masih adakah peluang untuk berubah keadaan tersebut
menjadi lebih baik. Jawabnya adalah satu, yaitu harus bisa dan harus
diubah. Kita harus malu kepada generasi berikut jika hanya mewariskan
sejarah buruk. Yaitu menjadi generasi yang menguras habis kekayaan alam,
meninggalkan beban hutang, catatan sejarah bahwa penjara penuh karena
banyak pemimpin terlibat korupsi, dan berakhlak buruk.
Asal mau
saja, cara memperbaiki keadaan tidak sulit, yaitu secara bersama-sama
mau bertekad memperbaiki dan mengubah dirinya sendiri. Jangan mengajak
orang lain, tatkala dirinya belum berubah. Mengubah kepribadian, mental,
dan akhlak tidak bisa dilakukan oleh orang lain, melainkan harus oleh
dirinya sendiri. Jika kita tidak mau dipersalahkan oleh generasi
mendatang, maka cara yang tepat adalah berusaha memperbaiki bangsa ini,
dari dirinya sendiri. Jika generasi 45 dibanggakan oleh generasi
setelahnya, kita seharusnya tidak mau dianggap generasi salah, dan
apalagi harus dicaci maki. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS