Mendengar Suara Tuhan

Orang berdebat tentang apa mungkin manusia bisa mendengar suara Tuhan. Perdebatan itu biasanya tidak berkesimpulan kecuali kesimpulannya sendiri-sendiri. Masing-2 pihak membiarkan lawan pembicaranya mengambil kesimpulan yang berbeda. Sikap itu yang diambil karena  kebenaran yang disampaikan tidak bisa dibuktikan, kecuali berupa keterangan  tanpa ada benda yang diterangkan. 

Diskusi tentang agama tidak selalu berakhir dengan kesimpulan yang sama. Berbeda di antara berbagai pihak  menjadi hal biasa. Hal itu disebabkan karena kebenarannya tidak bisa dibuktikan lewat data empirik. Masing-2 pihak mengandalkan keterangan. Sedangkan keterangan yang dimaksud juga tidak selalu jelas terhadap benda yang diterangkan. Mereka berkata atas kata. Bukan berkata atas benda. 

Berdiskusi tentang apakah seseorang bisa mendengarkan suara Tuhan misalnya, juga tidak bisa dibuktikan, kecuali hanya lewat logika. Sebab Tuhan tidak bersuara, sebagaimana makhlukNya bersuara.

Akan tetapi sebenarnya  jika disebut Tuhan tidak bersuara juga tidak mudah dipahami. Sebab manusia  selalu berkeinginan untuk mendengar suara Tuhan. Bagaimana mengerti ajaran, perintah, dan larangan Tuhan jika semua itu tidak bisa dipahami. Disinilah diperlukan logika untuk memahaminya. 

Tuhan sebenarnya bersuara, tetapi suaraNya tidak nyata. Suara itu nyata pada diri rasul. Sedangkan rasul pun juga ghaib, karena itu suaranya  tidak nyata. Suara rasul yang tidak nyata itu nyata pada hamba Allah yang ada di setiap diri manusia, yaitu bernama mukmin. Sedangkan mukmin juga tidak nyata, dan nyata pada mulut tubuh mukmin itu berada.  Hal tersebut bisa dicontohkan dengan  suara adzan.

Muadzin yang sedang mengumandangkan adzan adalah memenuhi perintah iman atau mukmin yang ada pada dirinya. Mukmin itu adalah penjilmaan dari rasul. Sedangkan suara rasul adalah dari suara Tuhan. Maka kiranya bisa dipahami bahwa sebenarnya suara muadzin adalah suara Tuhan.

Tegasnya, lewat logika tersebut maka bisa dimengerti bahwa sebenarnya, suara adzan adalah suara Tuhan lewat mulut muadzin. Oleh karena itu, setiap mendengar suara adzan sama artinya dengan mendengar suara Tuhan. Lima kali dalam sehari semalam, kita dipanggil oleh Tuhan  untuk menghadapnya lewat shalat. Panggilan itu seharusnya segera dipenuhi karena pada hakekatnya adalah  datang dari Tuhan (periksa al Qur'an surat al anfal ayat 20). 

Memenuhi panggilan Tuhan lewat adzan  untuk segera shalat seharusnya segera ditunaikan. Sebab jika selalu diabaikan, ---lagi-2 menggunakan logika, kelak pada saatnya kita memerlukan dipanggil, kita tidak dipanggil lagi. Karena semasa hidup, setiap dipanggil selalu diabaikan

 Padahal betapa indahnya ketika kita mengakhiri hidup  dipanggil oleh Tuhan dengan panggilan yang amat indah (periksa surat al Fajr ayat 27). 

Akan tetapi jika semasa hidup kita dipanggil oleh Tuhan  agar segera shalat, apalagi shalat berjama'ah di masjid, tetapi selalu diabaikan,  ----menggunakan logika, maka tidak akan  dipanggil lagi.  Akhirnya, bisa jadi Tuhan tidak berkenan memanggil dan  mewakilkannya kepada malaikat maut untuk mencabut nyawa kita (periksa surat as Sajdah ayat 11). 

Tentu jika mencabutnya  itu diwakilkan, yaitu diwakilkan  kepada malaikat maut  maka menjadi amat berat dan sakit yang amat, karena sebagai wakil menggunakan protab atau SOP.  Tentu tidak ada suasana kasih sayang.

Akhirnya, sebenarnya kita bisa sehari-hari mendengar suara Tuhan, yaitu karena Tuhan tidak nyata, maka bisa saja, suara itu nyata pada rasulNya. Dan oleh karena rasul tidak nyata, maka bisa nyata lewat mulut mukmin atau muadzin. Lewat logika ini, memenuhi seruan  muadzin bisa dipahami sebagai suara Tuhan. Karena itu, ketika mendengar suara adzan seharusnya segera dipenuhi, datang ke tempat suara dimaksud dikumandangkan untuk shalat berjama'ah. Wallahu a'lam


Ditulis oleh: Prof. Dr. H. Imam Suprayogo - (Dewan Pakar Thurina International Islamic Boarding School)

Share this post