Jangan Mau Berselisih Hanya Karena Virus Corona
Dampak virus corona sedemikian besar dan luas, baik di bidang politik, ekonomi, social, dan bahkan juga agama. Tidak mudah menghadapi persoalan pandemik ini. Resikonya sedemikian berat, mengancam nyawa. Ribuan orang di berbagai belahan dunia telah meninggal oleh karena virus corona ini. Orang harus tetap tinggal di rumah, tidak bekerja, akibatnya pasti mengganggu kehidupan ekonomi. Lembaga Pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, kantor-kantor perusahaan, dan lain-lain harus tutup.
Selain dampak yang tampak, seperti yang digambarkan secara singkat di muka, juga diikuti oleh jenis resiko lainnya. Untuk memutuskan apakah harus memutuskan lock down atau tidak, memastikan besarnya anggaran, dan lain-lain tidak mudah disepakati. Sementara pihak menganggap sudah perlu lock down, sebaliknya yang lain menilai tidak perlu. Persoalan juga muncul terkait dengan agama. Apakah boleh shalat berjama’ah di masjid atau bahkan tempat ibadah ini harus ditutup untuk menghindari penyebaran virus yang sedemikian cepat.
Perbedaan dalam mengambil keputusan politik tentu tidak mudah. Sebab semua jenis keputusan membawa resiko yang mudah diselesaikan. Masing-masing yang berbeda tentu memiliki alasan dan hasil kalkulasi yang berbeda. Perbedaan itu sebenarnya tidak menjadi masalah besar jika dihadapi dengan berbesar hati dan tidak saling curiga mencurigai. Apapun pandangan dan pikiran yang dilontarkan sebenarnya adalah untuk keselamatan bersama, masyarakat semuanya.
Akibat virus corona juga merambah pada persoalan kehidupan beragama. Adanya kewajiban agar menjaga jarak atau social destancing melahirkan problem antara boleh atau tidaknya shalat berjama’ah di masjid atau tidak. Sementara pihak mengambil sikap, agar tidak melakukan shalat berjama’ah dan shalat Jum’at di masjid. Ibadah ritual itu dianjurkan agar dilakukan di rumah saja, berjama’ah dengan keluarganya masing-masing.
Sementara pihak lain, mengambil sikap sebaliknya. Dengan memenuhi aturan pemerintah, yakni menjaga jarak, menghindari bersentuhan antara sesama, memakai masker, dan juga petunjuk lainnya, tetapi masih menjalankan shalat berjama’ah di masjid. Sudah barang tentu, kedua belah pihak mendasarkan pada argumentasinya, baik merujuk pada kitab suci al Quir;an, hadits nabi, pandangan ulama, maupun kenyataan di lapangan yang mereka melihatnya sendiri.
Bila diteliti secara seksama di antara pihak yang berbeda dalam bersikap antara boleh dan tidaknya shalat berfjama’ah di masjid tampaknya bukan diakibatkan oleh perbedaan sumber rujukan yang diikuti, baik dari al Qur’an maupun hadits nabi. Terhadap ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi yang dijadikan sumber dalam mengambil keputusan, antara kedua belah pihak, sebenarnya tidak ada perbedaan. Semua tampak sama. Tidak ada masalah dengan ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi yang dijadikan dasar dalam mengambil keputusan.
Perbedaan itu muncul dari hasil menerjemahkan situasi yang dialami oleh masing-masing masyarakat yang berbeda. Sementara masyarakat yang masih shalat berjama’ah melihat bahwa penyebaran wabah virus corona ini, sekalipun sudah dinyatakan sebagai pandemik, belum segawat yang digambarkan. Sementara dari mereka masih merasa aman-aman saja. Sedangkan yang bersikukuh harus menutup masjid rapat-rapat, beralasan bahwa penyebaran virus itu tidak kelihatan, sehingga dikhawatirkan serta merta ternyata sudah menular ke mana-mana. Rupanya, hal itu untuk kehati-hatian belaka.
Selain anggapan bahwa keadaan masih aman, mereka yang masih shalat dan traweh berjama’ah di masjid juga melihat di tempat-tempat pelayanan publik seperti pasar, mall, terminal bus, coffe, restoran, dan tidak sedikit pertokoan masih diperbolehkan buka. Hal demikian membuahkan perasaan tidak adil. Pergi shalat berjama’ah ke masjid dilarang, tetapi banyak orang masih dibolehkan ke mall, pasar, super market, dan lain-lain. Jika ke masjid dianggap bahaya, seharusnya ke pasar dan mall juga lebih berbahaya lagi.
Persoalan menjadi serius, dipicu oleh keinginan masing-masing pihak mendapatkan pengakuan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Celakanya, di antara yang berbeda tersebut terjadi saling olok mengolok, ejek mengejek, menganggap argumennya lebih kuat, lebih rasional, lebih ilmiah, dan lain-lain. Sementara yang lain dianggap lemah, segera menyerah pada keputusan Tuhan, tidak mau berpikir logis dan rasional. Lebih dari itu, oleh karena merasa jengkel, muncul istilah “ngeyel”, “ngotot”, membangkang, dan sejenisnya. Tentu perkataan tersebut sangat tidak mengenakkan hati.
Apapun perbedaan itu sebenarnya bisa diatasi, asalkan semua pihak ada kemauan untuk menghargai pendapat dan pandangan orang lain. Rasa kasih sayang yang mendalam di antara sesama muslim, sebenarnya bisa menghilangkan rasa kesel akibat perbedaan itu. Semua yang berbeda pandangan itu toh juga masih belum ada bukti yang bisa dilihatnya sendiri. Semua masih pada tataran perkiraan. Jika perbedaan pandangan itu dipertajam, mereka tidak sakit oleh karena virus corona, melainkan hati mereka menjadi sakit oleh karena saling merendahkan, mengolok-olok, dan tidak saling bersillaturrahim.
Puasa di bulan Ramadhan yang bertujuan meraih derajat taqwa sebenarnya adalah mempuasakan hawa, nafsu, dunia, setan, yang berada pada diri masing-masing. Berpuasa ini sebenarnya bukan saja menghindarkan diri dari makan, minum, dan hubungan suami isteri di siang hari, melainkan mempuasakan hawa nafsu. Dalam berpuasa tidak boleh merendahkan orang, mencaci maki, mengolok-olok, menganggap dirinya yang paling benar, dan melakukan apa saja yang menjadikan hati orang lain menjadi sakit.
Karena itu, agar puasa di bulan Ramadhan ini sempurna, maka harus dihindari perbuatan yang menjadikan orang lain marah, sakit hati, kecewa, dan memutus tali silaturrahim. Tidak boleh melakukan hal tersebut gara-gara kedatangan virus corona yang sebenarnya belum jelas datangnya. Janganlah mau diadu-domba oleh virus corona ini. Semogalah dengan kasih sayang Allah dan rasulNya, bahaya ini tidak jadi datang. Agar selamat justru kita semua seharusnya bersatu padu, saling mengkasihi dan menyayangi. Al Qur’an dan sunnahnya selalu mengajarkan yang demikian itu. Wallahu a’lam
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS