Hari Santri Nasional dan Santri Era Kini

Masih terngiang diingatan masyarakat Indonesia berita tahun 2018 lalu tentang keberhasilan empat santri asal Malang yang menjadi juara satu lomba debat bahasa Arab tingkat Internasional di Qatar yang bahkan menjadi pemberitaan diberbagai media massa nasional maupun internasional. Di tahun yang sama pula empat santri asal Probolinggo menjadi juara science di Malaysia. Bangga! Itulah ucapan yang menjadi tidak berlebihan jika disematkan untuk prestasi-prestasi santri di Indonesia.

Prestasi-prestasi santri baik dalam tingkat nasional maupun internasional ini seakan menjadi reaksi positif atas penetapan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober. Penetapan Hari Santri Nasional disahkan oleh Presiden melalui Keppress nomor 22 tahun 2015. Ini artinya, sudah kali keempat Hari Santri Nasional dirayakan di Indonesia. Dari beberapa referensi menyebutkan bahwa penetapan Hari Santri Nasional dianggap perlu mengingat kemerdekaan Republik Indonesia tidak terlepas dari perjuangan para santri. Oleh karena itu, penetapan Hari Santri Nasional merupakan bentuk penghargaan pemerintah terhadap peran santri dalam memperjuangkan  kemerdekaan. 

Secara umum kata “santri” diidentikkan dengan istilah untuk seseorang yang menuntut ilmu agama Islam lebih dalam yang tinggal di dalam asrama atau lebih dikenal dengan istilah mondok. Hal ini tidak jauh berbeda dengan definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menyatakan santri adalah orang yang mendalami ilmu agama. Pemikiran (mindset) dan definisi terkait santri ini memang tidak salah. Akan tetapi, di era modern saat ini tidak berlebihan jika melihat kualitas santri semakin meningkat. Santri tidak hanya mumpuni dalam ilmu agama saja tapi juga mampu bersaing di pembelajaran non-agama seperti matematika, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan bahasa asing. Tantangan dakwah yang semakin besarlah yang memprakarsai beberapa pesantren mendesain kurikulum yang memungkinkan santri memperoleh ilmu agama dan akademik dalam porsi yang sama. 

Tak heran, beberapa tahun terakhir lembaga pendidikan berbasis pesantren (boarding) dan berlabel intenasional mulai banyak bermunculan khususnya di Malang Raya. Hal ini memberikan pilihan tersendiri bagi orang tua yang menginginkan anaknya untuk tetap dapat melanjutkan studi lanjut umum sekaligus memperoleh bekal ilmu agama. Tidak hanya itu, ketertarikan anak untuk menjadi santri pun semakin kuat. Orang tua kini tidak melihat pesantren sebagai opsi cadangan apabila anaknya tidak diterima di sekolah umum yang dituju. Namun, orang tua menjadikan pesantren sebagai pilihan pertama sebagai pendidikan terbaik anak-anaknya. Jika sudah begitu, apa sebenarnya keuntungan menjadi seorang santri?

Kelebihan Santri

Pertama, jiwa nasionalisme dan toleransi yang tinggi. Telah diketahui oleh masyarakat umum bahwa pesantren berisikan santri yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Bahkan ada beberapa pesantren yang memiliki santri dari luar negeri. Dengan keberagaman daerah atau negara asal tentunya juga membawa nilai budaya yang berbeda-beda. Mereka hidup dan melakukan segala aktivitas bersama-sama. Dari situlah muncul interaksi dan pemahaman antar budaya. Pengetahuan budaya yang didapatkan dari pengalaman langsung inilah yang membuat santri lebih menghargai dan mencintai pluralitas yang ada di Indonesia. Karena mereka paham meski berasal dari daerah yang berbeda-beda mereka punya satu tujuan, menuntut ilmu agar menjadi madu peradaban. 

Kedua, lebih mandiri dan bertanggung jawab dari anak seusianya. Seorang santri yang tinggal di pesantren harus berpisah dengan orang tua. Hal ini membuat santri harus memutuskan segala sesuatunya dengan sendiri dalam mengambil beberapa keputusan. Demikian pula dengan aktivitas sehari-hari, seperti mencuci dan membersihkan tempat tidur harus dilakukan dengan mandiri. Awalnya mereka akan terpaksa. Namun, pada akhirnya karena sudah terbiasa sehingga membuat kemandirian itu mendarah daging.

Tanggung jawab santri juga terasah saat santri belajar mengatur waktu. Santri harus bisa memikirkan kapan harus belajar dan kapan harus melakukan kegiatan lainnya. Hal ini dikarenakan aktivitas santri di lingkungan pesantren tergolong sangat padat. Belum lagi jika ada kegiatan ekstrakulikuler, kompetisi atau festival, santri harus mampu menentukan skala prioritas agar tanggung jawabnya dapat terpenuhi dengan baik. Kemandirian dan rasa tanggung jawab yang dipupuk sejak menjadi santri inilah yang menjadi modal penting mereka sebelum terjun ke masyarakat. 

Ketiga, santri lebih fokus dalam belajar. Di pesantren pada umumnya sangat membatasi penggunaan gawai oleh santri. Mereka juga menjalani kegiatan pembelajaran di pondok sehingga tidak terpengaruh dengan dunia luar. Keterlepasan dari dunia luar inilah yang menjadikan santri lebih fokus dalam belajar. Fokus santri tidak teralihkan oleh isu-isu yang beredar atau malah berita hoax yang terkadang menyebar begitu cepat. Sebaliknya, berita atau isu-isu yang didengarkan santri adalah hasil membaca media cetak atau berita yang sudah melalui proses saringan dari pendidik (ustadz/ah). 

Keempat, belajar ilmu agama dan akademik. Pendidikan di pesantren mampu menghasilkan santri yang multitalenta. Hal ini dikarenakan santri tidak hanya memperoleh ilmu agama yang bersanad tetapi juga ilmu akademik yang tak kalah substantif dengan sekolah umum. Belum lagi santri diharuskan menghafal Al-Qur’an dan memiliki kemampuan berkomunikasi serta berbahasa asing (bahasa Arab dan bahasa Inggris). Paket lengkap dari pesantren inilah yang membuat prestasi santri semakin menjulang dan menjadi seseorang yang serba bisa. 

Prestasi santri kini tidak hanya menonjol pada bidang yang berkaitan dengan agama saja. Namun, juga pada kegiatan yang bersifat akademik, seperti olimpiade, penulisan esai dan lain-lain. Keseimbangan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat inilah yang membuat santri lebih siap lagi dalam menjalani kehidupan kelak.

Jika jaman dahulu santri berjasa dalam kemerdekaan Indonesia, maka di era sekarang santri adalah pendulang prestasi untuk mengharumkan nama bangsa sebagai bentuk rasa syukur atas kemerdekaan yang diraih. Pertanyaan yang sekarang muncul, sudah siap dan banggakah kita untuk menjadi seorang santri? Lalu untuk orang tua, siapkah menitipkan anaknya ke pesantren? Mari direnungkan bersama.


Wildan Pradistya Putra, S.Pd., Gr.
Staff HRM & QA Tazkia International Islamic Boarding School

Sumber: Malang Post

Share this post