Bekal Untuk Meraih Keberhasilan Hidup
Sekalipun di masa covid 19 ini, dianjurkan agar orang membatasi bertemu dengan orang lain, ternyata masih bisa dilakukan dan bahkan semakin terpelihara. Pada hari raya idul fitri ini sampai teman-teman sesama lulusan SMA dulu masih saling kontak, sekalipun hanya lewat WA. Setelah mereka masuk masa pensiun ternyata lebih tertarik berbicara tentang pengalaman masa lalu. Tidak lagi menyukai bicara masa depan. Mereka suka bercerita tentang pengalamannya sewaktu SMA, tentang keluarga dan yang lain-lain.
Di antara banyak hal yang dibicarakan, kesan saya yang paling menarik bagi mereka adalah tentang kunci sukses hidup. Bagi mereka ini kiranya dirasa penting untuk memberi bekal kepada keluarga dan cucu-cucunya. Oleh teman-teman saya di SMA dulu, saya dianggap satu di antaranya yang sukses dalam hidup ini. Tanda kesuksesan itu misalnya bisa meraih gelar akademik dan juga jabatan akademik tertinggi. Padahal dulu sewaktu di SMA lulus tahun 1970, oleh teman-teman kemampuan saya dianggap biasa-biasa saja, namun ternyata akhirnya menonjol dan sukses.
Atas kenyataan tersebut, beberapa teman menanyakan kunci sukses itu apa. Sebab jika bekal sukses itu adalah prestasi di SMA, saya dianggap tidak berprestasi. Terhadap anggapan tersebut, Saya sama sekali tidak tersinggung karena memang demikian itulah kenyataannya. Saya malah mengatakan bahwa sebenarnya ketika di SMA dulu saya bukan saja tidak berprestasi, tetapi justru di bawah standar. Hampir tidak lulus ujian akhir.
Untuk menjawab pertanyaan teman-teman tersebut, saya menjelaskan bahwa, berdasarkan pengalaman saya, bekal yang terpenting agar sukses dalam hidup ini adalah adanya niat dan tekat yang kokoh serta adanya kebebasan serta keberanian untuk meraihnya. Saya menjelaskan, ketika di SMA dulu, saya merasa tidak memiliki kebebasan. Saya merasa harus mempelajari mata pelajaran yang sebenarnya tidak saya minati. Hati saya merasa terkekang. Akibatnya, sehari-hari saya sekedar ikut di kelas agar pada saatnya lulus dan kemudian memperoleh ijazah.
Secara jujur saya mengaku kepada teman-teman bahwa, ketika itu saya sebenarnya tidak tahu untuk apa saya mempelajari sekian banyak mata pelajaran. Para guru juga tidak memberi penjelasan, mengapa pelajaran itu diberikan dan juga harus dipelajari. Setiap hari, saya harus datang ke sekolah, mendengarkan mata pelajaran yang disampaikan oleh guru, mengerjakan pekerjaan rumah, agar tidak disanksi. Kegiatan itu saya ikuti hingga saya dinyatakan lulus.
Oleh karena itu kalau nilai raport saya ketika itu selalu rendah dan bahkan di bawah standar, sebenarnya karena saya tidak memiliki minat terhadap pelajaran yang diberikan. Saya mengikuti pelajaran hanya semata-mata agar lulus ujian dan memperoleh ijazah. Suasana bebas tidak saya peroleh, bahkan baju pun harus berseragam. Keinginan memilih pelajaran yang disukai, ketika itu tidak pernah tersalurkan. Sehari-hari secara rutin datang ke sekolah, mendengarkan para guru menjelaskan pelajaran, dan kemudian mengerjakan pekerjaan rumah.
Orientasi yang terasa tidak jelas dan tidak memiliki ruang bebas tersebut menjadikan semangat belajar menjadi rendah dan akibatnya tidak berprestasi tersebut. Apa yang saya rasakan tersebut baru berubah setelah saya masuk di perguruan tinggi. Namun jika saya harus jujur, suasana kuliah di perguruan tinggi sebenarnya juga sama dengan di SMA. Mata kuliahnya sudah ditentukan dan semua harus diikuti. Akan tetapi ketika itu saya beruntung berhasil menemukan para senior dan bahkan dosen yang mengajak saya melakukan kegiatan yang bersifat membangun wawasan, tulis menulis, banyak membaca buku, dan lain-lain.
Sejak mahasiswa, saya memiliki peluang mendapatkan tantangan yang saya sukai, yaitu dari para dosen saya. Misalnya, saya diajak melakukan penelitian dan tentu harus diakhiri dengan membuat laporan, berdiskusi, dan seminar. Untuk mengejar target waktu yang disediakan, kadang saya harus bekerja tanpa istirahat seharian, dan bahkan kadang hingga larut malam. Kegiatan seperti ini saya ikuti dari waktu ke waktu, tidak pernah putus.
Mengikuti kegiatan tersebut, saya merasakan sebagai belajar yang sebenarnya. Agar bisa membuat laporan penelitian yang baik, saya harus membaca buku literatur, belajar bahasa asing, berani tampil membawakan laporan penelitian dalam kegiatan diskusi maupun seminar, dan lain-lain. Saya membayangkan, umpama kegiatan saya hanya duduk di kelas atau di ruang kuliah untuk mendengarkan ceramah dari dosen, mengerjakan tugas, dan sejenisnya, maka kemungkinan besar saya tidak berprestasi dan tidak akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat.
Lewat dialog hari raya dalam bersilaturraheim lewat WA dan juga tilpun, saya menjelaskan bahwa sukses hidup itu memang ada pintunya. Sebagaimana saya ungkapkan di muka, pintu itu misalnya harus ada niat, tekad, kebebasan, dan yang tidak kurang pentingnya adalah adanya berbagai tantangan, dan kemudian secara leluasa dan bertanggung harus dijawabnya. Proses berlatih, mencoba dan salah, mengalami sendiri, dan bahkan jatuh bangun itulah merupakan sesuatu yang berharga sebagai modal untuk menghadapi kehidupan di tengah masyarakat.
Melalui kegiatan tersebut saya mendapatkan pelajaran penting misalnya saya harus mampu beradaptasi dengan tuntutan lingkungan, kemampuan menangkap apa yang seharusnya saya kerjakan, belajar berkomunikasi dengan banyak orang, belajar berdisiplin dan jujur, termasuk kemampuan memahami diri sendiri. Tatkala memperoleh kepercayaan, saya selalu bertekad, bahwa saya harus berhasil menjaga amanah dan dengan hasil yang terbaik. Sikap tersebut ternyata mendatangkan simpatik dan menjadi dipercaya oleh banyak orang, Itulah kira-kira-kira pintu keberhasilan yang saya digunakan dalam menjalani hidup ini. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS