Apa yang Salah Dari Pendidikan Bangsa Ini?
Dulu sewaktu saya masih kecil, tinggal di pedesaan, kedatangan mahasiswa yang disebut melakukan kegiatan pengabdian dari kampusnya, saya rasakan luar biasa. Ceramahnya memukau, orang desa menjadi terkesima. Saya ikut-ikut mendengarkan ceramah itu. Sekalipun saya tidak mengerti sepenuhnya isi ceramahnya, tetapi saya tahu, orang yang ikut mendengarkan ceramah terkagum-kagum. Terkesan mahasiswa dimaksud itu pintar dan layak menyandang identitas sebagai mahasiswa.
Namun setelah sekian lama saya dikota, dan kebetulan memimpin perguruan tinggi, ketika pulang kampung seringkali saya mendapatkan kritikan tajam. Anaknya orang kampung yang sudah lulus perguruan tinggi dipandang tidak memiliki kepintaran dan kecakapan sebagaimana gelar yang telah diperoleh dan disandangnya. Orang tuanya sampai mengatakan, jika kemampuan anaknya seperti yang disaksikan itu, untuk apa harus sekolah lama-lama di kota dan harus mengeluarkan biaya mahal.
Kritik tajam dari orang tua yang bertempat tinggal di pedesaan tersebut sebenarnya jika kita berani jujur dan terbuka, bukti-bukti lemahnya hasil pendidikan sekarang ini dapat diperoleh dari lingkungan kita yang tidak jauh-jauh. Coba kita tanyakan pada banyak pekerja sebagai cleaing servies, satpam, dan lain-lain di kantor-kantor sekarang ini. Banyak sekali di antara mereka lulusan SMA, dan bahkan tidak sedikit lulusan S1. Mengapa mereka mau bekerja di tempat itu, padahal gaji mereka tentu tidak mencukupi. Dulu, lulusan SMA sudah dipandang tinggi, dan diterima bekerja di tempat strategis.
Melihat kenyataan tersebut, tentu tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Mungkin banyak factor yang menyebabkan, lulusan SMA dan bahkan S1 mau bekerja di tempat yang saya yakin dengan rasa keterpaksaan. Mungkin di antara sebabnya, lapangan pekerjaan pada saat sekarang ini sudah amat terbatas dan harus diperebutkan oleh banyak olrang. Sebab lainnya, mungkin oleh karena kualitas pendidikan yang diperolehnya belum mampu menjadikan dirinya memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup digunakan untuk memenangkan kompetisi di zaman yang tantangannya semakin keras ini.
Kita lihat saat ini perubahan kehidupan sedemikian cepat. Sementara itu lembaga pendidikan tidak mudah berubah. Berbicara tentang pendidikan selalu menyangkut guru, fasilitas, kurikulum, lingkungan, dan lain-lain. Kita lihat satu aspek saja, yaitu misalnya kurikulum. Apa yang diajarkan oleh guru di kelas pada setiap hari adalah bagian dari kurikulum. Berbicara tentang kurikulum selalu menyangkut tentang bahan ajar, buku ajar, cara mengajar, dan lain-lain di seputar itu. Manakala kurikulum harus diubah tentu harus mengubah gurunya. Guru tidak akan mampu mengajar di luar kemampuannya.
Memikirkan sebatas kurilum saja, apalagi dalam skala nasional, bukan perkara mudah. Tatkala kurikulum itu disusun, maka harus membayangkan tentang keadaan bangsa ini yang sangat variatif, tidak saja terkait dengan wilayahnya yang berbeda-beda, etnis yang berbeda, daya dukung yang berbeda, dan masih banyak lagi lainnya yang berbeda-beda. Perubahan kurikulum juga akan menyangkut kepala sekolah, guru, dan petugas lain yang akan menjalankannya. Umpama ada kurikulum baru dan akan diberlakukan secara nasional, maka sekedar mempersiapkannya saja harus memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Demikian pula, menyangkut manajemen, sosialisasi, dan lain-lain yang tidak mudah dilaksanakan.
Keadaan tersebut menjadikan lembaga pendidikan sulit bergerak dan apalagi maju. Padahal di luar institusi pendidikan, sebagai akibat kemajuan teknologi yang sedemikian cepat, sudah berubah dan bahkan berganti wajah. Dunia anak-anak misalnya sudah berubah. Demikian pula ekonomi, teknologi, dan seterusnya. Umpama di sekolah, guru hanya mengajarkan bahan ajar seperti yang diajarkan 5 tahun yang lalu, maka pasti murid tidak akan tertarik. Semakin mudah dan murahnya produk-produk teknologi informasi sekarang ini, siapa saja yang ingin mengetahui sesuatu, maka dengan cepat dapat memperolehnya lewat google atau media lainnya.
Perkembangan keadaan yang sedemikian cepat itu seharusnya diimbangi oleh kemampuan lembaga pendidikan untuk berubah secara cepat pula. Problemnya bagi lembaga pendidikan untuk berubah secara cepat tidak mudah dilakukan. Hambatan itu, selain birokrasi, juga terkait dengan anggaran, fasilitas, dan yang tidak kurang rumitnya lagi menyangkut politik pendidikan. Manajemen pendidikan yang bersifat sentralistik, tatkala harus melakukan perubahan maka harus melibatkan berbagai pihak dan mengikutkan sedemikian banyak orang.
Padahal pendidikan kapan dan di mana saja seharusnya lebih mengedepankan kepentingan generasi, dan bukan sekedar menyelamatkan system atau birokrasinya. Apa artinya birokrasinya berhasil dijalankan secara teratur dan rapi manakala tidak menghasilkan generasi yang cerdas, berkarakter, dan memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh zamanya. Ke depan hasil pendidikan yang bersifat simbolik, seperti ijazah, IP, sertifikat, ranking, dan seterusnya tidak akan bermakna manakala kemampuan yang diraihnya itu tidak menggambarkan symbol yang disandangnya.
Ke depan tugas lembaga pendidikan akan semakin berat dan rumit. Tuntutannya akan semakin riil yaitu yang mampu menjawab tantangan zaman. Lembaga pendidikan harus lincah, mudah bergerak, dan bahkan cepat melakukan perubahan, menyesuaikan tuntutan yang semakin cepat berubah ini. Agar tuntutan itu mudah dipenuhi, maka kebijakan pendidikan seharusnya tidak sebatas memenuhi tuntutan birokrasi agar berjalan tertib, terpenuhi formalitasnya, dan sebatas berorientasi pada hal-hal yang bersifat simbolik belaka. Jika tidak berani melakukan perubahan, maka yang menjadi korban adalah generasi. Contoh sebagaimana diungkap pada pendahuluan tulisan ikni, adalah bukti nyata kurban pendidikan dimaksud. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS