Agama Bagi Orang Biasa

Penyebutan agama bagi orang biasa adalah untuk membedakan agama bagi  para ulama, kyai, tuan guru, dan sejenisnya. Bagi orang biasa, agama adalah untuk dirinya sendiri dan paling jauh untuk keluarganya. Bagi mereka itu pengetahuan agama tidak perlu tinggi-tinggi dan apalagi harus mendalam. Cukup yang dibutuhkan sehari-hari dalam menjalani hidupnya. 

Umpama orang biasa ini suatu saat membutuhkan keputusan terkait agama yang tidak dimengerti bisa bertanya kepada ulama, kyai, tuan guru, atau lainnya. Misalnya,  bagaimana mengurus jenazah, menghitung zakat mall, pembagian waris, dan sejenisnya,  bisa bertanya kepada kyai, ustadz, atau ulama yang memahami tentang hal tersebut. Bagi orang biasa atau awam  tidak harus menghafal atau memahami hingga mendetail.  

Bagi orang biasa, pengetahuan agama tidak diperlukan terlalu mendalam hingga menyentuh persoalan yang mendetail. Persoalan agama yang  harus diketahui adalah menyangkut yang bersifat pokok misalnya tentang rukun iman dan rukun islam, bersuci, berdoa yang dibaca sehari-hari. Menyangkut rukun Islam, terutama adalah di sekitar tentang  shalat, zakat, dan puasa. 

Jika demikian itu yang diperlukan oleh orang biasa, maka sebenarnya pelajaran agama juga tidak memerlukan waktu yang lama. Saya memperoleh pengetahuan agama hanya dari belajar di langgar atau masjid di desa di mana saya dilahirkan. Anak-anak kecil usia sekolah, biasanya selain sekolah di SD di pagi hari, sorenya belajar agama di madrasah Diniyah yang biasanya mengambil tempat menyatu dengan bangunan masjid. Pendidikan agama yang dimaksud itu dijalankan dengan cara sederhana dan juga murah.  

Pelajaran di madrasah diniyah yang ditekankan adalah kemampuan  membaca al Qur’an dan sedikit demi sedikit memahami maknanya. Selain itu belajar tentang shalat dan  doa-doanya. Pengetahuan yang bersifat dasar lainnya, diperoleh melalui tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat. Misalnya, tradisi  membaca puji-pujian setelah adzan dan sebelum shalat dimulai, betrdzikir Bersama pada hari-hari tertentu, dan lain-lain. Saya hafal betul tentang rukun Islam, rukun iman, sifat dua puluh, mengenal asma’ul husna, dan lain-lain, bukan dari sekolah, tetapi dari mendengar dan ikut membacanya saat puji-pujian dimaksud. 

Bagi orang biasa dan atau  orang awab, pelajaran agama diperoleh melalui  cara sederhana, murah, dan mudah. Pelajaran agama berlangsung sebagai  bagian tradisi kehidupan masyarakat sehari-hari. Menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dimakan atau dikonsumsi, sesuai ajaran agama, biasanya diperoleh dari orang tua. Orang tua biasanya menunjukkan, jenis makanan yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh.  Itulah di antaranya,  pendidikan agama di lingkungan keluarga. Makanan yang boleh boleh dimakan disebut halal, dan sebaliknya, yang tidak boleh dimakan disebut haram. 

Pelajaran agama yang berlangsung secara alami itu berlangsung sepanjang hidup. Pelajaran agama tidak pernah berhenti. Sekalipun sudah menginjak dewasa, dan bahkan menjadi orang tua, pelajaran itu masih bisa diperoleh melalui kajian pada hari-hari tertentu, misalnya  pengajian rutin pada  hari-hari tertentu. Pelajatran agama menjadi berlangsung seumur hidup, dari ayunan hingga masuk liang lahat. Tentu  bahan yang dikaji adalah menyangkut hal-hal terkait dengan kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. 

Manakala kegiatan pendidikan agama seperti digambarkan tersebut masih berjalan atau masih dapat dipertahankan, maka banyak sekali keuntungan atau manfaat yang diperoleh oleh masyarakat. Kehidupan keluarga diwarnai oleh nilai-nilai agama. Antar tetangga, atau komunitas menjadi saling mengenal dan sekaligus belajar di masjid, mushalla,  atau sebutan lainnya. Pendidikan agama menjadi langsung masuk pada wilayah kehidupan sehari-hari, atau  disebut mentradisi atau bahkan membudaya. 

Oleh karena sudah mentradisi atau  membudaya, maka pengetahuan agama menjadi milik setiap orang di masyarakat yang dimaksud. Pengetahuan agama tidak sekedar  didokumentasikan  dalam buku, tetapi menjadi milik semua orang. Agama bukan sekedar  diketahui setelah membaca buku  dimaksud. Sewaktu-waktu kapan dan  siapa saja bisa menjawab pertanyaan tentang agamanya. Hal tersebut berbeda dengan pengetahuan di sekolah. Baru berusaha memahami dan menghafal  ketika akan ujian, dan setelah itu lupa lagi. Pengetahuan agama tidak seperti pengetahuan di sekolah. 

Jika pengetahuan agama bagi orang biasa seperti yang digambarkan tersebut,  sebenarnya masyarakat tidak perlu menuntut waktu yang terlalu panjang untuk pelajaran agama di sekolah. Selama ini banyak orang  mengeluh, bahwa pelajaran agama di sekolah terlalu sedikit dan sangat kurang waktu yang disediakannya. Padahal umpama diberikan waktu sebanyak-banyaknya pun, sebenarnya juga tidak banyak artinya. Pelajaran agama lebih tepat dijalankan lewat tradisi di rumah tangga dan ditambah di  masyarakat lingkungan tempat tinggalnya. 

Agama bukanlah  sebatas pengetahuan, melainkan adalah ajaran yang  harus dilaksanakan. Memahaminya akan menjadi mudah lewat dilaksanakan. Dengan melaksanakannya  itu, seseorang  akan bisa merasakan, dan akhirnya  mengaku beragama itu adalah merupakan keharusan. Agama yang terbangun seperti ini menjadi kokoh. Pengetahuan agama bukan saja diterima oleh nalarnya melainkan dirasakan oleh hatinya yang paling dalam. Agama sebenarnya adalah merawat hati, agar menjadi orang yang berakhlaq mulia.  Wallahu a’lam


Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS

Share this post