"TANAH AIRKU" Cerita Pendek oleh Difa Aulia Anandri Suhemi (Santri Kelas X Tazkia IIBS)
Sudah terhitung tiga tahun sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jerman. Ya, berkat beasiswa yang aku dapatkan, aku tetap bisa melanjutkan studiku di sini. Tempat dengan penduduk yang ramah memberikan kesan yang hangat, sama seperti Indonesia.
Seketika aku teringat kembali akan janjiku yang dulu, aku akan menuntut ilmu setinggi mungkin dan sejauh mungkin, dan ketika sudah tercapai mimpiku itu aku akan kembali lagi ke tanah airku, Indonesia. Kini, aku sudah mendapatkan gelar professor di salah satu universitas yang cukup terkenal. Aku wisuda pada lima hari yang lalu, pada saat itu aku berharap dapat melihat kedua orangtuaku duduk di kursi tamu dan meihatku berpidato, karena aku merupakan salah satu mahasiswi terbaik. Namun sayangnya, hal itu tidak terjadi. Aku berusaha memaklumi keadaan tersebut, lagipula memang tiket ke Jerman cukup mahal dan pada saat itu ayahku juga ada urusan yang sangat penting.
“Besok jadi pulang ke Indonesia, Lin?” tanya salah satu teman sekamarku.
“Sepertinya. Tetapi aku harus memikirkannya lagi.” aku menjawab dengan nada datar.
Memang sudah seharusnya aku kembali setelah bertahun-tahun menuntut ilmu. Namun entah mengapa, aku merasa aku belum memiliki sesuatu yang dapat aku banggakan saat aku pulang nanti. Padahal dengan kenyataan gelar profesor yang aku miliki itu sudah lebih dari cukup.
Hari terus berlanjut, dan aku masih saja memikirkan apakah memang aku harus kembali sekarang atau belum saatnya. Namun, di penghujung tahun 2014 aku menetapkan tekad untuk pulang ke Indonesia. Sejujurnya, dari awal aku sudah sangat merindukan penduduknya, makanannya, bahkan teman-temanku, rumahku, dan keluargaku.
Penerbanganku besok pukul 09.00, aku berencana untuk tinggal di Indonesia selama tiga bulan. Setelah menyiapkan segala barang-barang, aku berangkat menggunakan taksi untuk menuju bandara. Jarak antara tempat tinggalku dan bandara sekitar satu jam. Bagiku itu waktu yang sangat berharga, karena aku bisa menggunakannya untuk tidur. Maklum, semalam aku tidak bisa tidur karena harus segera menyelesaikan ceritaku yang sudah ditagih penerbit entah berapa lama.
Tidak lama kemudian, aku pun tiba di bandara. Sekitar satu jam terasa bagai sepuluh menit jika digunakan untuk tidur, sungguh tidak adil. Tapi tidak apa, penerbangan dari Jerman menuju Indonesia memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam dengan dua kali transit, yaitu di Dubai dan Singapura. Lumayan, waktu yang cukup banyak untuk kugunakan tidur kembali. Setelah check in, aku harus menunggu sekitar sepuluh menit di waiting room.
Hingga tibalah panggilan untuk pesawatku, dan aku pun segera memasuki ruangan.
“Hei, kamu Lina bukan?”
Terdengar suara memanggil namaku, dan seketika itu pun aku langsung menoleh ke arah sumber suaranya. Terlihat seorang perempuan tidak jauh di belakangku dan dia tersenyum.
“Oh,hai!” aku pun membalas senyumannya. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu siapa dia.
“Perkenalkan namaku Lusia. Aku salah satu pembaca blogmu.” ujarnya.
Aku terkejut mendengarnya, “Apa, blogku? Jadi sebenarnya dia adalah penggemarku?” Namun untuk menghormatinya, aku pun mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih banyak, senang bertemu denganmu.”
“Apakah kamu akan pulang ke Indonesia?” tanyanya penasaran.
“Ya, aku sudah sangat merindukan Indonesia.” jawabku.
“Kalau begitu berarti kita satu pesawat,” Lusia terlihat sangat antusias.
“Benarkah? Apakah kamu juga berasal dari Indonesia?” aku bertanya untuk memastikan.
“Aku datang ke Indonesia untuk berlibur sekaligus mengunjungi orangtuaku. Ibuku orang Indonesia dan ayahku orang Perancis,” tegas Lusia.
“Oh begitu, pantas saja wajahmu terlihat seperti orang Asia namun kamu memiliki mata berwarna biru. Cantik sekali.” pujiku.
“Hehehe, terimakasih.” Lusia terlihat malu dan wajahnya memerah.
“Karena kita satu pesawat, bagaimana kalau kita jalan bersama, anggap saja sebagai teman mengobrol.” ajakku.
“Boleh, dengan senang hati.”
Setelah memasuki pesawat, ternyata seat kami bersampingan. Sungguh nikmat yang tidak terhingga. Akhirnya, setelah menempuh penerbangan yang cukup panjang, kami pun tiba di tanah air, Indonesia. Pesawat kami mendarat dengan mulus di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Setelah mengambil bagasi, aku berpisah dengan Lusia karena kami berbeda tujuan selanjutnya.
“Sampai jumpa lagi Lina, semoga sukses!” Lusia pun melambaikan tangannya.
“Oke! See you.” Aku pun membalas lambaian tangannya.
Setelah menemukan taksi, aku memberitahukan alamat tujuanku dan dengan senang hati driver mengantarkanku.
“Terima kasih, Pak.” aku telah sampai di depan rumahku. Ketika aku hendak masuk, adik bungsuku langsung berlari ke arahku dan memelukku.
“Kakak!”
Aku pun membalas pelukannya. Rindu sekali rasanya.
“Hai, sudah mandi belum?” tanyaku iseng.
“Udahlah kak, adik udah wangi ya.”
“Hehehe, pintar. Ayo kita masuk,” aku menggenggam tangannya.
Di dalam sudah menunggu ibu dan ayahku. Dengan segera aku pun langsung mencium tangan dan memeluk mereka.
“Dimana Sera, Bu?”
“Dia masih sekolah. Bentar lagi pasti pulang.” jawab ibuku.
“Oh iya, Bu. Lina ganti baju dulu ya.”
“Iya, iya,” ibu mempersilahkan.
Dengan cepat aku langsung berganti pakaian, karena aku sudah tidak tahan dengan perutku yang dari tadi mulai bernyanyi. Setelah itu, aku langsung menuju meja makan untuk makan siang bersama dengan adikku.
Dua jam yang lalu handphone-ku terus berbunyi, teman-teman semasa SMP-ku sudah membuat rencana untuk menyambut kepulanganku. Awalnya aku berkata bahwa itu sedikit berlebihan, namun tidak apalah yang penting aku tetap dapat berkumpul bersama lagi.
“Hari ini jam 8 di kafe DS ya, jangan sampai terlambat.” sahabatku mengingatkan melalui whatsapp.
“Iya,iya aku tahu. Tenang saja.”
Tepat pukul 8 aku sudah tiba di kafe DS, namun belum ada seorang pun temanku yang sudah hadir dan aku hanya bisa menghela nafas.
“Baiklah, mari kita tunggu saja.” ujarku pelan.
Selama menunggu, aku memesan satu cangkir kopi panas dan melihat-lihat suasana sekitar. Seketika pandanganku berhenti di antara sekelompok remaja, tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki berkumpul bersama di pojok kafe. Hal yang membuatku penasaran adalah cara berpakaian mereka yang terlihat sangat minim sekali. Sama sekali tidak mencerminkan sopan santun dan etika di depan khalayak umum.
Melihat kondisi tersebut, aku merasa sangat prihatin, mengapa mereka melakukan hal seperti itu yang pada dasarnya tidak dianjurkan baik dalam agama maupun norma. Mereka terlihat meniru-niru budaya luar tanpa mengenal adat di dalam negeri. Tidak lama kemudian, beberapa temanku mulai berdatangan dan aku tidak lagi memerhatikan sekelompok remaja tersebut.
Keesokan harinya, diadakan acara besar di halaman SMA-ku dahulu untuk memperingati hari Sumpah Pemuda. Para siswa, wali siswa, bahkan alumni diundang untuk meramaikan acara. Aku sangat bersemangat sekali untuk datang. Bersama dengan sahabatku, kami pun datang tepat waktu dan menyalami beberapa guru-guru kami dahulu yang sangat berjasa dalam membantu kami hingga sesukses ini.
Acara dimulai pukul 08.00 pagi. Sekarang sudah pukul 09.00. Sudah satu jam lebih dari jadwal yang telah ditentukan, namun setengah bagian dari kursi yang sudah disiapkan bahkan belum penuh, hanya beberapa orang saja yang baru hadir. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya acara tetap dilaksanakan dengan penonton yang seadanya.
Setelah acara selesai, aku mengajak sahabatku untuk mampir sebentar dipinggir jalan untuk membeli es jeruk karena aku merasa haus sekali.
“Beli es jeruk dulu ya, Mila, aku haus nih.” ajakku.
“Iya baiklah, tolong pesankan aku satu. Aku ke toilet sebentar ya.” Mila segera berlari ke arah toilet.
Lima menit kemudian Mila kembali.
“Es jeruknya sudah jadi?” tanya Mila.
“Iya nih, ayo kita segera pulang.” aku terburu-buru.
Kami pun pulang bersama. Di tengah jalan, aku melihat banyak sekali anak seumuran SD sibuk dengan gadget mereka masing-masing. Seketika aku langsung teringat dengan masa kecilku. Dahulu aku sangat tidak mengenal apa itu alat elektronik, yang aku tahu hanya congklak, enggrang, dan permainan tradisional lainnya. Dan dahulu, jika aku disuruh memilih antara gadget atau permainan tradisional, dengan senang hati aku akan memilih permainan tradisional.
Kenapa? karena sebenarnya permainan tradisional itu lebih seru dan juga memiliki manfaat, seperti meningkatkan komunikasi dan sosialisasi bersama. Ingin sekali rasanya mengajarkan mereka permainan tradisional agar mereka lebih cinta pada hal seperti itu. Ketimbang memainkan gadget mereka yang terkesan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
****
Aku terbangun di pagi hari yang cerah. Indah sekali. Melihat burung-burung beterbangan ke sana kemari, angin berhembus sepoi-sepoi, dan matahari yang melambaikan sinarnya. Aku siap memulai aktivitas di hari ini. Menemukan dan belajar banyak hal dari ligkungan sekitar.
“Bu, Lina mau jalan-jalan bentar ya ke pasar,” kataku kepada ibu.
“Mau ngapain kamu?” ibu penasaran.
“Cuma mau melihat kondisinya saja, bagaimana suasananya setelah kutinggalkan selama 3 tahun.”
Setelah berpikir yang cukup lama, akhirnya ibu menyetujui dan mengizinkanku untuk berkeliling pasar. Entah mengapa,aku pingin sekali mengunjunginya,padahal aku tidak berniat belanja apapun selama disitu.
Memandangi setiap sudut pasar, para penjual dan konsumen saling berinteraksi terlihat sangat mengasyikkan. Aku pun tergoda untuk membeli beberapa buah-buahan.
“Pak, jeruk harganya berapa ya?” tanyaku.
“Sekilonya 15.000, Mbak. Mau berapa kilo?” tanya penjualnya.
“3 kilo ya, Pak.”
“Ini, Mbak. Total semuanya jadi 45.000”
Aku menyodorkan beberapa lembar uang,
“Terima kasih banyak ya, Pak.” Aku pun berjalan meninggalkan toko tersebut.
Setelah menghabiskan waktu sekitar setengah jam mengelilingi pasar, aku pun pulang.
“Ibu, ini Lina ada belikan buah di pasar tadi.” Aku menyodorkan tas plastik besar yang berisi makanan.
Ibuku mengambil plastik tersebut dan membawanya ke dapur, lalu mencucinya.
“Kakak beli buah apa?” tanya adikku.
“Cuma buah jeruk.”
“Aku suka jeruk,” sahut adik.
Adikku sangat antusias sekali dan segera menuju dapur untuk mendapatkan buah kesukaannya, jeruk.
Tidak terasa sudah tiga bulan aku berada di Indonesia. Dan sudah waktunya aku pulang lagi ke Jerman untuk bekerja. Hatiku terbagi menjadi dua, merasa bahagia dan sedih. Bahagia karena aku bisa mendapatkan tawaran pekerjaan. Namun di sisi lain aku merasa sedih karena harus meninggalkan tanah airku tercinta. Setelah bertahun-tahun hidup di negeri orang, aku baru sadar akan pentingnya rasa nasionalisme.
Tiket pesawatku besok pukul 09.00, dan aku sudah mulai mengemas-ngemas semua barangku agar besok tidak terlalu buru-buru. Keesokan harinya, aku diantar sama adiknya nenekku dan suaminya. Perjalanan yang cukup membosankan, sehingga aku menghabiskan waktu dengan membaca novel dan mengamati pemandangan.
“Sampai jumpa semuanya! Doain kakak ya semoga sukses dan bisa berkunjung lagi ke sini.”
Mendengar ucapan tersebut, adikku langsung memelukku.
“Jaga kesehatan selama di sana ya, Kak!”
Mendengar hal tersebut, aku merasa sedih dan tidak rela untuk meninggalkannya.
Sesampainya di bandara, aku pun masuk ke waiting room dan tinggal menunggu panggilan pesawatku. Seketika entah mengapa aku kembali teringat tentang kesan-kesanku selama aku berada di Indonesia. Para remaja yang melanggar norma, dan masih banyak lagi lainnya. Sedih sekali melihat kondisi tersebut. Padahal merekalah calon penerus bangsa nantinya.
Awalnya aku sangat bahagia ketika akan pulang ke Indonesia sebelumnya, namun setelah melihat kondisi Indonesia yang sebenarnya saat ini sedang banyak terjadi, aku merasa sedih dan prihatin. Aku tidak habis pikir kepada para remaja yang dengan mudah melupakan segalanya hanya untuk mendapatkan popularitas agar dikatakan modern dan tidak ketinggalan zaman.
Aku tahu sekarang globalisasi sudah sangat berkembang dimana-mana, namun bukan berarti kita boleh dengan bebas menerima seluruh dampak dari globalisas. Dampak globalisasi memiliki dua sisi, yaitu sisi positif dan disi negatif. Kita hanya diperbolehkan mengambil dari sisi positif dan sebisa mungkin menjauhi sisi negatif dari globalisasi.
Aku sangat ingin melakukan sesuatu agar dapat membantu meningkatkan kesadaran para generasi muda, agar mereka lebih berpengetahuan. Namun, aku rasa belum saatnya, tetapi aku akan mulai dari awal agar dapat lebih mengerti. Menurutku, salah satu penyebab kurangnya rasa cinta terhadap tanah air di dalam diri para remaja saat ini adalah mereka merasa bangga menggunakan berbagai produk luar negeri.
****
Sesampainya di Jerman, aku langsung mencari tempat tinggal baru, karena aku merasa kesulitan dengan ukuran tempat tinggalku yang terbilang cukup. Setelah semua barang selesai dipindahkan dengan menggunakan bus. Aku langsung berganti pakaian dan merebahkan badanku di atas kasur yang cukup empuk. Badanku serasa ingin hancur, benar-benar hari yang melelahkan.
Seharusnya hari ini adalah jadwal pertamaku bekerja, namun aku izin karena sakit. Setelah kepulanganku kemarin, badanku terasa sangat pegal dan kepalaku bergoyang-goyang. Dokterku berkata agar aku selalu beristirahat dengan cukup. Terkadang daya tahan tubuhku memang seperti itu, sedikit saja merasa lelah aku langsung jatuh sakit, namun terkadang juga tidak.
Dipertengahan hari, aku merasa sudah baikan. Untuk mengisi waktu luangku, aku pun membuka blogku dan menuliskan beberapa hal. Tema hari ini adalah cinta tanah air, aku sangat ingin menuliskannya sebagai wujud tanda peduli terhadap hal seperti ini sekaligus juga untuk meningkatkan kesadaran para remaja Indonesia.
Akhirnya blogku pun selesai, aku sangat berharap banyak para remaja yang membacanya, dan mereka akan merubah pola pikir mereka.
“Baiklah, besok aku akan masuk kerja. Iya aku janji, tetapi kamu harus traktir aku es krim.”
Sahabatku memang seperti itu, menelepon untuk selalu mengingatkan tentang jadwal keseharianku, dia benar-benar sangat peduli terhadapku.
Keesokan harinya, aku masuk kantor dengan suasana hati yang cerah seperti hari ini. Melihat ekspresi wajahku yang sangat gembira, orang lain pun ikut tersenyum. Bahagia itu sederhana ya. Saat jam istirahat, aku iseng membuka blogku untuk melihat jumlah pembaca, namun baru lima orang. Itu tandanya kita harus lebih sering bersabar.
Tiga hari kemudian, aku berencana untuk membuka blogku lagi. dan ternyata jumlah pembaca meningkat hingga sepuluh ribu kali lipat dari aslinya. Aku benar-benar tidak percaya, ini bagaikan energi. Awalnya aku mengawali hari dengan semangat yang biasa saja, namun seketika berubah langsung menjadi super bahagia. Dan aku menjadi lebih bahagia lagi ketika mengetahui bahwa kebanyakan pembaca adalah para remaja.
Keesokan harinya, aku jatuh sakit lagi dan terpaksa izin tidak masuk kerja, sebagai pengisi waktu luang, aku kembali menulis di blogku. Temanya masih sama seperti yang dulu, namun tulisan kali ini lebih mirip seperti lanjutan dari yang terakhir kali. Dan kabar bahagia lagi, ternyata tulisanku yang ini juga diterima dengan baik oleh para pembaca terutama remaja. Aku merasa sangat senang sekali melihatnya. Itulah cerita singkat awal dari kehidupan menulisku. Sampai sekarang sudah ada tiga ceritaku yang diterbitkan menjadi buku.
Berkat tulisan di blogku, tingkat kesadaran para remaja terhadap tanah airnya terus meningkat. Lebih mencintai dan lebih menghargai tanah airnya. Itulah tujuan utamaku dalam menulis blog pada saat itu, dan akhirnya tercapai.
Indonesia. Alangkah baiknya jika kita tidak hanya menumpang tinggal di atas tanahnya. Ada banyak sekali sejarah dan keanekaragaman di dalamnya yang dipelajari. Sebagai penerus bangsa ini kelak, seharusnya kita lebih mengenal identitas bangsa ini daripada berlomba-lomba untuk mengikuti trend luar negeri dan malah melupakan adat bangsa sendiri.
Aku cukup prihatin dengan remaja Indonesia saat ini yang sering bersikap acuh tak acuh terhadap bangsanya sendiri. Namun, aku percaya bahwa mereka memiliki potensi dan kesadaran, hanya saja perlu ditingkatkan agar tumbuh jiwa nasionalisme yang baik. Oleh karena itu, aku sangat mendukung sekali kemajuan dan perkembangan anak bangsa.