Order Without Law Oleh Kayla Lucrezia 12 Putra

“Mbah Kung” Haidar menyentuh pundak Mbah Kung dengan lembut. Mbah Kung menoleh, “Sudah dzuhur, Haidar bantu ambil wudhu ya?” Mbah Kung menjawab dengan anggukan tipis, matanya tetap kosong, seperti hari- hari biasanya lalu beranjak pergi dari tempat duduk rotan favoritnya. Haidar merangkul Mbah Kung dan membantunya berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Siang itu, Haidar menjadi imam sholat dan Mbah Kung duduk di belakangnya menjadi makmum.

Ia kira, berhasil diterima di kampus yang ia idamkan selama ini dapat menjadi pelariannya agar jauh dari Ibu dan Ayah yang protektif. Namun, hal itu justru membawa Haidar ke mimpi terburuknya. Ibu yang selalu khawatir dengan anak semata wayangnya, memaksa Haidar untuk tinggal bersama Mbah Kung dan Mbah Uti yang sudah tinggal di Malang semenjak Ibu dan Ayah menikah. Ibu selalu mengulangi mantra khususnya,“Selalu ada orang jahat diluar sana, Nak” sebagai jurus jitu untuk ‘melindungi’ Haidar.

Haidar tidak pernah dekat dengan Mbah Kung, Mbah Kung hobi melamun dan jarang berbicara, tatapan matanya selalu kosong. Tubuh Mbah Kung tinggi kurus kering, tapi matanya selalu seperti menatap sesuatu yang jauh dan tiada ujungnya. . Mbah Kung tidak pernah menceritakan masa mudanya seperti kakek-kakek lainnya. Hanya Mbah Uti yang selalu mengajak Haidar berbincang ketika lebaran, Mbah Kung lebih memilih untuk duduk melamun di teras dengan ditemani secangkir teh hangat. Tinggal bersama kakeknya yang pemurung dan seperti di antara ada dan tiada itu merupakan hal yang harus ia terima ketika akan berkuliah di Malang. Tentu Haidar kesal dan rasa kesalnya tak kunjung reda, tapi apa mau dikata, hal ini lebih baik dibandingkan jika Haidar berkuliah di Jakarta. Nasihat ibunya selalu berbicara berulang di kepalanya, “Selalu ada orang jahat di sana, Nak” Dengan rasa kesal yang tak kian mereda, Haidar terpaksa menerima konsekuensi tersebut daripada ia harus kuliah di kampus swasta dekat rumahnya yang di Jakarta.

Awal pindah ke rumah Mbah Kung ternyata tidak terlalu buruk, Mbah Uti selalu menjadi teman bercerita yang baik. Selain sebagai pencerita, Mbah Uti adalah perawat Mbah Kung yang baik. Beliau merawat Mbah Kung dengan sepenuh hati. Namun, perjalanan kuliah Haidar menjadi berat ketika Mbah Uti meninggal dunia 3 bulan yang lalu. Ia tidak hanya kehilangan sosok nenek namun juga teman mengobrol di rumah Mbah Kung. . Dengan begitu, secara sederhana, posisi perawat Mbah Kung digantikan oleh Haidar, karena ia satu- satunya keluarga Mbah Kung yang tinggal serumah. Tentu, Haidar merasa kewalahan karena harus berkuliah dan merawat Mbah Kung, jadi tugas merawat Mbah Kung dibantu oleh Mbak Sinta. Haidar juga harus menggantikan peranan Mbah Uti untuk Mbah Kung. Sudah 3 bulan lamanya Haidar dibantu dengan Mbak Sinta untuk mengurus Mbah Kung.

“Sampun, Mbah?” Haidar menatap Mbah Kung yang tengah meminum  segelas air putih. Seperti biasa, Mbah Kung hanya menjawab dengan anggukan. Setelah membereskan semua makanan sisa di siang itu, Haidar kembali mengotak-atik temuan untuk tugas kuliahnya. Sebagai mahasiswa sejarah banyak sekali tugas yang membutuhkan dirinya untuk membaca artikel-artikel masa lalu. Kali ini topiknya tentang tragedi 1998, yang tidak ada habisnya tragedi tersebut dicari akar masalahnya. Sampai sekarang, tentu masih banyak sekali pertanyaan yang belum menemukan jawabannya, tentang siapa dan apa yang memicu tragedi tersebut.

Ia mulai membaca beberapa artikel yang menjelaskan situasi setelah kerusuhan tersebut terjadi. Kurang puas dengan pencariannya, ia menggulir lini masa media sosial twitter untuk membaca sekilas-sekilas tentang kerusuhan ‘98.. Haidar mengamati salah satu foto yang dicantumkan dalam thread yang ia temukan. Ia memperbesar foto seorang tentara berpangkat Serma mayor yang sedang mengkondisikan massa dalam kerusuhan itu. Haidar mematung ketika membaca nama yang tertulis diatas seragam tentara itu, BAWE.

“Mbah Kung, Haidar boleh tanya?” Haidar bersimpuh di depan Mbah Kung. Mbah Kung menatapku lalu mengangguk pelan, “Ada apa, Le?” Mbah Kung bertanya balik. “Mbah Kung dulu pernah jadi tentara?” Haidar menatap penuh harap. Alis Mbah Kung berkerut. “Haidar tadi ngerjain tugas tentang kerusuhan ‘98, Haidar lihat ada foto tentara lagi mengontrol massa, nama beliau Bawe” Haidar menjelaskan dengan lembut. Mbah Kung menunduk. “Mbah Kung?” Rasa penasaran Haidar semakin meningkat. Mbah Kung mengangkat kepalanya perlahan dan menghembuskan nafas dalam-dalam, lalu ia mengangguk lemah. Haidar berusaha sekuat tenaga untuk menahan ekspresi senangnya. “Mbah Kung boleh cerita soal kerusuhan itu?”

Enggan menjawab, Mbah Kung hanya tersenyum dan menggelengkan kepala lalu berdiri meninggalkan Haidar sendiri di teras. Haidar menghembuskan nafas, mengapa Mbah Kung menghindari pembahasan masa mudanya? Mulailah muncul berbagai pertanyaan di dalam kepala Haidar. Kali ini ia tidak akan menyerah, ia akan mendapatkan jawabannya.

***

Malam itu angin lumayan kencang, Mbah Kung memilih untuk mencoba menonton TV yang baru saja dihadiahkan oleh Ayah dan Haidar. “Mbah Kung mau makan di sini atau di meja makan?” Tanya Haidar dari meja makan. “Di sini aja, Le Jawab Mbah Kung tanpa melepas pandangannya dari TV barunya.

Share this post