Nikmatnya Beribadah Di Masjid
Seharusnya anjuran pemerintah di saat datang pandemi virus corona agar beribadah di rumah saja dan tidak datang ke masjid, semua orang segera memenuhinya. Anjuran itu sangat penting untuk menghindarkan diri dari terinfeksi virus dimaksud. Diketahui bahwa penularan virus tersebut sangat cepat lewat komunikasi antar orang. Shalat berjama’ah di masjid memungkinkan penularan amat tinggi, apalagi ada tradisi berjabat tangan di tempat ibadah.
Anjuran tersebut sebagai upaya menyelamatkan masyarakat. Orang tidak perlu datang ke masjid,cukup beribadah di rumah. Akan tetapi, anjuran tersebut bagi orang yang sudah merasakan nikmatnya beribadah shalat berjama’ah di masjid, tidak mudah menerimanya. Sekalipun ada penjelasan bahwa betapa berbayanya virus tersebut, sementara orang tidak peduli.
Mengapa resiko tersebut tidak ditakuti oleh sementara orang. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, oleh karena mereka merasakan betapa nikmatnya beribadah di masjid secara berjama’ah. Nikmat itu tidak bisa dijelaskan melalui kata-kata. Nikmat atau rasa hanya bisa dirasakan oleh orang yang telah mengetahui dari menjalankannya. Merasakan nikmat sama dengan mencintai. Seseorang manakala telah mencintai sesuatu, apapun resikonya tidak akan mampu menghalangi usaha memenuhi panggilan cintanya itu.
Banyak orang telah menjalankan ibadah, berupa shalat berjama’ah di masjid, tetapi yang bersangkutan belum tentu berhasil merasakan nikmatnya. Dianggapnya shalat berjama’ah hanya sebatas memenuhi kewajiban dan belum menjadi tuntutan hatinya untuk bertemu dengan Tuhan lewat shalat berjama’ah itu. Jika demikian itu yang dialami, mereka dengan mudah meninggalkan ibadah.
Seseorang yang telah merasakan nikmatnya shalat berjama’ah di masjid, resiko sebenar apapun, asalkan masih ada peluang, mereka tetap melakukannya. Secara material tidak memperoleh apa-apa dari kegiatan ibadahnya itu. Akan tetapi, mereka merasakan kedamaian setelah datang ke masjid. Terhadap orang seperti ini mencegahnya tidak mudah.
Himbauan agar tidak ke masjid datang dari berbagai pihak. Tidak saja dari pemerintah, tetapi juga dari majelis ulama, pimpinan organisasi keagamaan yang dianut, dan mungkin masih ditambah lagi dari yang lain. Tetapi himbauan tersebut tidak serta merta berhasil mengubah sikap dan keyakinannya. Bahkan, sekalipun larangan itu juga disertai ejekan, misalnya dengan kata “nekat”, “ngotot”, ugal-ugalan dalam beragama, dan lain-lain, tetap tidak mendapat perhatian
Kata-kata yang menyakitkan hati tersebut dilontarkan agar mampu mengubah pandangan, namun ternyata juga tidak didegarkan. Mereka tetap memilih untuk memenuhi panggilan suara hatinya. Mereka menganggap bahwa orang yang mengolok-olok dan melarang tersebut tidak mengerti kenikmatan yang diperoleh dan dirasakan dari menjalankan ibadah itu.
Lewat berbagai kisah diterangkan tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika terjadi pandemi, sejak zaman rasul, shahabat, dan seterusnya. Mereka paham terhadap kisah-kisah dimaksud. Tetapi mereka juga mempunyai alasan dari apa yang mereka lakukan. Hanya mereka tidak mau berdebat. Berdebat bagi orang yang mengerti agama tidak dibolehkan. Berdebat selalu membuahkan dua kemungkinan, yaitu menang atau kalah. Buah berupa kemenangan adalah sombong, sedangkan kalah akan menjadi kecewa. Itulah sebabnya, dilarang memperdebatkan agama.
Alasan kedua, pengetahuan tentang resiko covid 19 adalah baru pada tingkat berita, dan belum diketahui bukti kejadiannya. Sebagian masyarakat belum tahu secara nyata, siapa yang sebenarnya telah terinfeksi virus ini. Beritanya memang telah menggelegar. Usaha-usaha pencegahan sudah luar biasa. Pemerintah melarang keluar rumah, sekolah-sekolah hingga universitas tutup. Begitu pula kantor, hotel, tempat wisata dan lain-lain. Kehidupan seolah-olah berhenti.
Namun demikian, sementara masyarakat masih merasakan bahwa keadaan masih aman. Warga di lingkungannya masih utuh, belum ada yang tersentuh oleh virus yang dianggap mematikan tersebut. Kalau ada, baru berupa dugaan, berita dari mulut ke mulut. Itulah sebabnya, masyarakat merasa belum ada ancaman serius dari wabah virus corona ini. Umpama mereka melihat sendiri bahaya itu, sudah pasti, anjuran pemerintah, organisasi keagamaan, dan MUI akan ditaati sepenuhnya.
Sekalipun demikian, sebenarnya tidak berarti masyarakat tidak mendengarkan himbauan pemerintah. Mereka mematuhi dengan cara misalnya, menjaga jarak kumunikasi atau social destincing, menjaga kebersihan, menggunakan masker, dan seterusnya. Hanya mereka tidak mau kehilangan nikmat beribadah ketika merasakan masih dalam keadaan aman. Itulah yang menjadikan orang datang ke masjid shalat berjama’ah. Mereka sebenarnya bukan bersikap melawan atau tidak taat kepada pemerintah, dan apalagi tidak peduli kepada nasehat ulama’nya. Mereka masih merasakan suasana aman. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS