Hidup Serakah
Setiap mendengar dan membaca kata serakah selalu mengingatkan diri saya pada nasehat ibu saya yang sudah wafat lebih dari 10 tahun yang lalu. Apa lagi pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Sewaktu mau berbuka puasa, ibu selalu mengingatkan, agar jangan serakah. Kata serakah ini oleh karena selalu diulang-ulang, mengesankan bahwa orang yang serakah itu sedemikian buruk.
Kemarin ketika membuka WA, ada pesan persis seperti pesan ibu saya tersebut. Keserakahan tidak saja menjadikan orang lain membencinya, tetapi sifat serakah juga akan menyengsarakan pemilik sifat buruk itu. Orang serakah di mana-mana dianggap jelek. Walaupun mungkin saja, keserakahannya itu menjadikan banyak orang dapat keuntungan.
Misalnya, dengan serakah, seseorang menjadi kaya raya. Sehari-hari, dia memerlukan tenaga untuk dipekerjakan di perusahaan dan di rumahnya. Lewat menjadi buruh dan atau pekerja di rumahnya itu, mereka mendapat upah dan dapat hidup dari orang serakah dimaksud.
Ibu saya mengartikan kata serakah sederhana saja. Biasanya nasehat itu disampaikan ketika akan atau sedang berbuka puasa. Maklumlah anak kecil, seharian tidak makan karena puasa, maka nafsu makannya menggelora. Anak kecil maunya makan sebanyak-banyaknya. Sekedar serakah dterhadap makanan saja, orang tua tidak membolehkan. Sifat itu dianggapnya buruk, menjatuhkan harga diri dan juga membuat orang lain menderita.
Tidak saja dalam kehidupan rumah tangga, dalam masyarakat pada umumnya, serakah juga dianggap tidak baik. Orang yang selalu merasa bahwa hartanya tidak cukup, sekalipun sudah melimpah, maka orang itu disebut serakah. Juga disebut serakah manakala seseorang berkehendak menguasai apa saja, misalnya jabatan, uang, harta benda, hingga melampaui kebutuhan dan bahkan merampas hak orang lain. Perilaku yang demikian disebut buruk.
Dalam kehidupan modern sekarang ini, sebutan serakah sepertinya semakin hilang. Seseorang dianggap sukses manakala berhasil mengumpulkan uang atau kekayaan sebanyak-banyaknya. Bahkan kekayaannya hingga tanpa batas. Di zaman modern ini, serakah bukan menjadi sesuatu yang cela. Lihat saja seseorang yang telah memiliki kebun hingga seribu hektar misalnya, tetapi masih menambah ribuan hektar lagi, juga tidak disebut serakah. Kata serakah menjadi semakin hilang.
Orang yang sehari-hari menambah harta kekayaan tanpa diketahui akan digunakan untuk apa, juga tidak disebut serakah. Bahkan orang seperti itu dianggap sukses. Ternyata keberhasilan hidup di zaman modern ini juga diukur dari banyaknya harta yang telah dikumpulkan.
Orang yang telah meraih sukses mengumpulkan harta tersebut dianggap hebat dan dihargai. Mungkin saja penghargaan itu diberikan oleh karena telah berhasil mempekerjakan sekian banyak orang. Padahal tidak pernah dihitung, berapa orang yang dirugikan atau peluang usahanya terganggu oleh karena sifat keserakahan orang itu.
Jika mau memperhatikan secara saksama, akibat negative dari sifat serakah ini sebenarnya luar biasa besarnya. Akibat sifat serakah seseorang maka banyak orang, usahanya menjadi mati. Sifat serakah menjadikan keadilan semakin tidak mudah diperoleh. Oleh karena kekayaan hanya terpusat pada beberapa orang atau sekelompok orang, maka muncul kesewenang-wenangan dari orang serakah terhadap orang lain, yang mungkin jumlahnya sedemikian banyak.
Orang serakah sebenarnya tidak saja menjadikan orang lain menderita, tetapi kerugian itu juga akan menimpa dirinya sendiri. Orang serakah akan dijauhi banyak orang. Jika masih ada orang mendekat, pasti karena kepentingan sehingga belum tentu tulus. Orang serakah, hidupnya akan jauh dari manusia, dan apalagi dengan Tuhan. Itulah sebabnya orang tua selalu berpesan, agar jangan menjadi orang yang serakah. Hidup sebaiknya dijalani secukupnya saja. Kata orang tua, harta tidak akan dibawa mati. Janganlah serakah. Wallahu a’lam
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS