Dalam Bayangan Oleh Kayla Lucrezia kelas 12

Hatiku gelisah sejak bangun untuk shalat subuh pagi itu. Lantunan ayat suci Al-Qur'anku terus mengalun hingga pukul tujuh pagi, saat rasa pasrah menunggu telepon itu membuatku berhenti. Aku menghela napas, berpikir mungkin beliau sedang sibuk. Sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, aku hanya bisa tersenyum tipis.

Kututup kitab suci di hadapanku saat telepon genggamku berdering. Senyumku merekah, mengira beliau yang menelepon, siap untuk menghilangkan rasa cemas dalam hati. Namun ketika melihat nama yang tertera di atas layar telepon genggamku, alisku berkerut.

Teman dekatku di pengajian, Mbak Nike. Saat ku jawab panggilan telepon itu, yang ku dengar hanya suara tangisan. Hatiku semakin dilanda rasa resah. Dengan tarikan nafas yang dalam, perlahan Mbak Nike akhirnya membuka suara.

“Nya[1]… Ya Allah Nya…Innalillahi Nya”

 Suaranya terdengar lemah. Jantungku berdetak kencang, entah kabar buruk apa yang akan ia sampaikan kepadaku.

“Pak Yai sedo[2] Nya…”

 Lidah ku terasa kelu, tanganku seketika mati rasa, dan energi dalam diriku entah melebur ke mana. Kejadian setelah itu terasa begitu samar, aku hanya ingat menangis sejadi-jadinya di atas sajadah dan lirih beristighfar. Ya Allah, rasa sakit ini terulang dan lebih dalam.

***

 Kepalaku memutar balik ingatan 15 tahun yang lalu, saat aku pertama kali diajak Mbak Nike mengikuti kajian dan disitulah aku bertemu dengan Ustaz Syauqi. Setelah mengikuti kajian tersebut, aku tersadar pengetahuan agamaku sangat minim dan memutuskan untuk istiqomah mengikuti kajian itu setiap minggunya.

Aku aktif dalam membantu pengurus organisasi kajian tersebut karena Mbak Nike salah satunya. Tak butuh waktu lama untuk aku mendapatkan tawaran untuk menjadi salah satu pengurus di bagian humas. Dengan izin suamiku, aku menerima tawaran tersebut dan mulai aktif dalam organisasi kajian tersebut.

Para pengurus akrab memanggil Ustaz Syauqi dengan panggilan Pak Yai. Beliau adalah seorang pendakwah muda dan seorang anak dari seorang kiayi tersohor pada jamannya. Gaya


berdakwah beliau yang santai, seperti mengajak kami, para jamaahnya berbincang dan diselingi dengan berbagai lelucon jenaka.

Beliau juga salah satu imam besar di Masjid Nasional yang terletak di daerah kami. Masjid itu menjadi saksi bisu para manusia yang berkeluh kesah kepada beliau. Berbagai macam rombongan mendatangi beliau untuk berdiskusi. Banyak pula orang-orang yang menanyakan keberadaan beliau dan meminta untuk bertemu, meminta arahan dalam hidup. Dari yang berencana menikah hingga yang rumah tangganya diambang perceraian. Dari yang mengundang untuk memberi kajian pernikahan hingga mengundang beliau untuk mengaji di acara-acara yang penting. Semua beliau dengarkan dan terima dengan perkataan “Nggih, siap” khas beliau. .

Terkadang saat seorang menghadap ke beliau meminta arahan tentang kehidupannya yang sulit, dengan menangis tersedu-sedu, beliau dapat membuat orang itu tertawa dan pulang dengan hati yang lega. Nasihat beliau selalu diincar kemanapun beliau pergi. Doa-doa dan ceramah yang menyentuh hati dari beliau selalu berhasil membuat orang meneteskan airmata. Ustaz Syauqi adalah orang yang tulus dan baik.

Setelah satu tahun aku menjalani rutinitas sebagai pengurus organisasi tersebut, hubunganku dengan Pak Yai cukup dekat. Jika dibandingkan masih jauh lebih dekat Mbak Nike yang sudah lebih dulu kenal dengan beliau. Aku memutuskan untuk mengundurkan diri ketika anak pertamaku memasuki kelas 6 SD, banyak hal yang harus diajarkan dengan perhatian penuh kepada anakku, maklum, aku juga ingin dia masuk sekolah yang bonafide.

Meskipun begitu, silaturahmi kami terjalin dengan baik. Ketiga anak perempuanku dan dua anak laki-laki Mbak Nike dekat sekali dengan beliau. Setiap bertemu beliau dengan anak-anakku, beliau menyempatkan untuk berbincang dan memberi uang saku. Putri bungsuku selalu menangis setiap harus berpisah dengan beliau, ya karena Pak Yai sudah seperti pamannya sendiri. Pun begitu dengan Pak Yai, selalu memanjakan anak bungsuku itu. Suamiku juga berteman baik dengan beliau, sebab ada beberapa hutang budi yang tidak bisa dibayarkan dengan harta apapun, seperti saat rumah tangga kami hampir runtuh, beliaulah yang menjadi pihak mediasi diantara kami.

Datanglah luka kesedihan yang begitu dalam ketika suamiku dipanggil terlebih dahulu oleh-Nya karena infeksi virus pada pandemi saat itu. Putri pertamaku, si anak paling tangguh dan selalu menguatkanku. Tak setetes pun air mata keluar saat ia melihat ayahnya dikuburkan melalui video call. Tatapannya selalu menguatkanku untuk menjalani hari-hari duka itu.

Mendengar kabar pilu itu, Ustaz Syauqi menawarkan diri untuk mengisi tahlilan suamiku. Tahlilan diadakan secara daring , membuatku lega karena tidak perlu bertemu banyak orang dengan energi suka yang terbatas dan energi duka yang memenuhi seluruh ruangan rumahku. Di Akhir, beliau menceritakan kedekatan beliau dengan suamiku dan berbagai macam kebaikan suamiku yang beliau ketahui. Aku hanya bisa tersenyum lemah ke arah kamera dan


berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada beliau setelah itu. Semenjak itu beliau secara berkala bertanya kabar anak-anak. Menanyakan kebutuhan mereka dan selalu mengingatkan jika butuh apapun jangan sungkan meminta kepada beliau. Tentu aku tidak sungkan, sebab kebaikan-kebaikan seperti itulah yang aku butuhkan. Pun aku akan tetap ingat, siapa, dan bagaimana orang membantuku di saat hidupku runtuh seperti ini.

Lamaran memperistri secara halus itu datang di bulan empat, seusai masa idah. Beliau mengajakku bertemu di kantor beliau yang terletak di dalam Masjid Nasional tersebut. Aku menolak dengan keheranan, untuk apa aku menjadi istri kedua dari seseorang yang telah memiliki keluarga yang harmonis. Di tempat itulah pertama kali bukan beliau yang mendengarkan cerita, namun beliaulah yang bercerita.

Semua yang terlihat sempurna ternyata hanya ilusi belaka. Wanita yang beliau nikahi atas perjodohan berhenti melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri setelah melahirkan putra bungsu mereka, tanpa alasan. Enam tahun lamanya beliau berjuang sendiri. Tidur berbeda kamar, makan sendiri, bahkan pulang kerja pun tak ada yang sambutan hangat dari istrinya. Beliau bertahan hanya karena ketiga anak beliau yang sangat masih membutuhkan beliau.

Bahkan dua tahun lalu saat beliau kecelakaan pun, keluarganya mengurus beliau hanya sampai keluar dari rumah sakit. Itupun, hanya siang hari, di malam hari Ustaz Syauqi sendirian di rumah sakit yang dingin. Entahlah, pada malam hari, dingin rumah sakit begitu menggigit, sampai tulang terasa kelu., Setelah keluar dari rumah sakit, beliau berangkat rawat jalan seorang diri dan sering kali lupa untuk meminum obat karena padatnya jadwal beliau. Begitu banyak materi yang telah beliau berikan kepada keluarga beliau tanpa tedhing aling-aling. Mereka hanya datang saat butuh saja. Berulang kali beliau mengingatkan kembali syari’at berpakaian kepada putri dan istrinya, hanya untuk dibalas dengan seribu alasan. Hanya dihadapan semua orang mereka berlagak menjadi keluarga cemara.

Beliau merindukan hari-hari yang lalu. Merindukan kehangatan dari sebuah keluarga. Seperti kebiasaan dan watak baik beliau, beliau juga ingin membantuku sebagai seorang janda yang hanya sesekali menerima pesanan jahitan untuk mengisi waktuku, pun juga dompetku. Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Peganganku untuk menghidupi aku dan anak-anakku dua tahun kedepan hanyalah harta warisan suamiku.

Beliau iba melihatku. Beliau mengerti betul potensiku dalam bekerja, namun beliau menyayangkan diriku yang beliau lihat dapat menjadi seorang wanita sholihah. Beliau iba kepada anak-anak jika harus ku tinggal seharian demi sesuap nasi. Beliau ingin menjaga marwahku sebagai wanita, beliau ingin membimbingku untuk meraih surga-Nya.

Dua minggu lamanya aku membuat beliau menunggu. Malam-malam itu diisi dengan tangisanku di atas sajadah, meminta petunjuk kepada Sang Maha Perencana. Setelah berdiskusi berhari-hari dengan orang tuaku, kami memutuskan untuk menerima lamaran itu. Demi kebaikan kita semua.

Tiga hari kemudian, pernikahan dilaksanakan sederhana. Malam itu, di kamar sebuah kamar hotel, ijab kabul itu diucapkan. Hanya ada kedua orang tuaku dan seorang teman terpercaya dari Ustadz Syauqi menemani sebagai penghulu. Setelah semua orang pulang, disitulah aku menangis dipelukan beliau. Ada rasa bahagia yang menyelimuti hatiku, namun didalam situ juga terselip rasa bersalah.

Pernikahan ini juga dilakukan dengan segera agar beliau dapat membantu ku secara leluasa, terutama soal biaya hidup. Malam itu, putri pertamaku mungkin sudah terlelap di atas kasur asramanya sambil memeluk al-Qur’an. Sebelum menuju hotel, putri kedua dan bungsuku titipkan kepada sepupuku, dengan alasan aku sedang ada urusan di luar kota. Ini semua ku lakukan tanpa sepengetahuan mereka, karena aku tau mereka tidak akan mudah menerima semua ketidakjelasan -an hubungan ini.

Hari-hari setelah itu berjalan seperti biasanya, hanya saja ada beliau yang rajin menelepon untuk sekedar menanyakan kabar anak-anak. Kami tidak tinggal serumah, pun istri pertamanya tentu saja tidak tahu akan hubungan ini. Aku menerima semua resiko yang ada dan akan terjadi, ikhlas dari hati yang paling dalam.Tak jarang beliau minta ditemani lewat telepon ketika perjalanan pulang kerja tengah malam. Kami hanya bertemu ketika ada waktu saja.

Suatu hari beliau meneleponku setelah

Share this post