"Bayangan Mimpi Hitamku" By: Putri Karisya Rizkita
Di tengah remangnya cahaya, dia berjalan menyusuri koridor kelas. Hanya langkah kakinya yang terdengar di ruang tersebut. Kalau bukan karena al-Qur’annya yang tertnggal di koridor kelas setelah pelajaran diniyah tadi, dia tdak mungkin mau kembali ke gedung kelas sendirian. Sesaat, terdengar kegaduhan dari ujung koridor, Finance Center. Sontak dia terperanjat. Apa yang terjadi? Apakah aku harus mengecek apa yang terjadi di sana? Batnnya. Dengan langkah mengendap-endap, dia memberanikan diri mendekat ke pintu. Nafasnya tertahan. Perlahan, dia menyentuh gagang pintu lalu membuka pintu. Jantungnya berdegup kencang. Cekrek. Perlahan pintu mulai terbuka. “Loh, Vania kok disini? Kenapa lampunya dimatkan?” tanya gadis itu. “Eh, kamu, Shani. Aku…, aku merasa lebih nyaman aja kalau lampunya dimatkan,” ucap Vania terbata-bata. “Oh, baiklah. Aku baru tau kalau ada orang yang merasa nyaman jika berada di tengah kegelapan,” ucap Shani tak yakin. “Vania, aku izin hidupkan lampunya ya. Siapa tau ada alQur’anku di sini.” Tanpa berpikir panjang, Shani mencari saklar lampu lalu menghidupkannya. Shani terhenyak. Matanya memandang kertas merah bergambar Soekarno berserakan di atas lantai.
***
Terlihat jelas dimataku, bulir-bulir air yang memenuhi wajah. Memaksa masuk kedalam setiap celah yang ada di wajahku. Nafasku tercekat. Kepalaku seperti ada yang menusuk-nusuk. Tidak ada yang bisa menolong. Ada sesuatu yang menahan seluruh gerakanku. Air mata yang mengalir ikut terbawa arus sungai. Tidak ada yang bisa kulakukan. Suara Ustadzah Aisyah menggelegar, memunculkan bunyi melengking yang menusuk telinga Shani. Mimpi itu lagi. Mimpi itu seakan-akan mengendap dan hinggap di alam bawah sadarnya. Sialnya, dia bermimpi saat tahfidz Subuh.“Shani, jangan tidur! Empat hari lagi ujian tahfidz! Kamu harus banyak-banyak muroja’ah juz 29!” perintah Ustadzah Aisyah. Shani mengerjapkan mata. Kembali memfokuskan diri dengan al-Qur’an dikedua tangannya. Decitan gerbang memekakkan telinga, sesaat membuat konsentrasi para santri buyar. Dari kejauhan, Shani melihat seorang wanita tua berdiri dibelakang mobil yang tengah berjalan memasuki kawasan pondok. Gamis coklatnya dipenuhi noda, jilbab hitamnya pun kusam, kulitnya hitam legam, serta manik mata cukup mengisyaratkan pupusnya harapan dan impian, membuat tampangnya terlihat sangat memprihatinkan. Wanita tua itu menatap Shani lekat. Seolah menyampaikan sesuatu yang tidak biasa. Tidak, wanita tua itu lagi. Bersikaplah seperti kamu tidak mengetahui apapun, Shani. Shani menarik nafas panjang. Sementara wanita tua itu masih berdiri di depan gerbang. Entah sampai kapan.
***
“Jadi, saya membawa kalian semua ke hutan ini untuk mengenalkan secara langsung apa itu ekosistem alam. Saya harap, kalian akan lebih mengerti tentang bab yang kita pelajari kali ini,” kata wanita berkepala enam itu. “Sekarang saatnya kita kembali ke pondok.” Aku tetap diam terpaku, memperhatikan aliran sungai yang mengalir di depanku. “Shani, sepertinya kamu sangat menyukai sungai. Apakah kamu mau saya antar melihat ekosistem di sungai?” ajak wanita itu. Aku hanya menganggukkan kepala. Lalu mengikuti langkah kakinya hingga ke pinggir sungai yang tersiram cahaya matahari pagi. Sepanjang perjalanan, aku memikirkan kejadian tadi malam. Hingga aku bisa melihat ikan yang menari-nari, berbagai macam ukuran batu yang ditumbuhi lumut, dan teratai yang mengambang dipermukaan sungai. “Saya sangat menyukainya. Dari mana…,” sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku, kulihat sekelebat tangan yang mendekap mulutku dengan sehelai kain. Aku berteriak. mencoba menarik perhatian warga sekitar yang mungkin melintasi wilayah ini. Samar-samar, aku melihat wanita itu berusaha melepaskan tangan orang yang mendekap mulutku. “Lepaskan aku!” perintah itu lemah, nyaris berbisik. “Aku tidak akan membiarkan mulutmu mengucapkan sepatah kata pun! Kamu sudah melihat kejadian tadi malam. Anggap saja ini sebagai peringatan agar kamu tidak mengatakan kepada siapapun!” Shani terbangun dengan jantung yang berdegup kencang. Setelah berhari-hari dia bermimpi tentang hal yang sama, akhirnya hari ini mimpinya berbeda. Sangat berbeda. Dia tidak ingin mengingat-ingat mimpi itu lagi. Segera, dia mengambil air wudhu untuk bersiap-siap sholat Tahajud di masjid.
***
Musim kemarau masih tak kunjung pecah. Semburat matahari menyiram seluruh tubuh selagi mereka berlari dengan buku fiqh didekapan masing-masing. “Ini semua gara-gara kamu! Kalau kamu tidak bercerita tentang wanita aneh dan mimpi anehmu, pasti kita tidak akan terlambat!” seru Vania, nafasnya terengah-engah. “Afwan, aku kan cuman ingin meminta pendapatmu.” Shani tidak bisa melawan. Setelah lima menit berlari, sampailah mereka dikelas. Hening. “Hei, kenapa kalian terlambat? Cepat masuk! Hari ini ada ulangan!” perintah ustadz yang menjaga kelas tersebut. Vania terlonjak kaget. Dia tidak tau sama sekali hari ini ada ulangan. Segera mereka berdua duduk dikursi kosong – masih dengan nafas yang menderu kencang. Secarik kertas berisikan soal tentang shalat berjamaah kini siap dijawab. Vania tidak tau harus menjawab apa, hanya satu-dua soal yang bisa dia jawab. “Shani! Kalau kamu sudah selesai, beri aku seluruh jawabanmu,” pinta Vania. “Hah? Em…, tapi…,” dia berkata tidak yakin. “Tidak usah tapi-tapian, berikan saja nanti jawabanmu. Hari ini aku belum belajar.” Gadis malang itu tidak bisa menolak, dia meneruskan pekerjaannya sementara Vania tertidur dengan wajah ditutupi kertas. “Nanti aku mau cerita lagi ya,” bisik Shani. “Hah? Tidak ada gunanya kamu menceritakan mimpi itu. Maksudku, mimpi itu tidak ada artinya sama sekali,” nada suara Vania tiba-tiba meninggi. Kepalanya terangkat. “Nah, justru itu. Kalau itu cuman mimpi, kenapa kamu khawatir banget?” “Ah, sudahlah. Lupakan. Cepat sana kerjakan!” Shani menunduk kecewa. Pikirannya berkecamuk. Dia tidak bisa melawan Vania.
***
Suara gaduh memecah keheningan hutan. Leherku terasa sangat sakit. Tiba-tiba mataku dilanda rasa kantuk luar biasa. Apa yang terjadi kepadaku? Kenapa dua orang ini saling berteriak? Orang berjilbab lebar yang terpadu dengan jubah birunya berbondong-bondong datang melihat apa yang terjadi. Atmosfer menegangkan menyelimuti sekitarku. Semakin lama, leherku terasa sangat sakit. Suaraku seketika menghilang. Aku hampir kehabisan nafas, hingga sesuatu yang mengekang leherku terlepas. Tubuhku terjatuh di atas bebatuan sungai. Aku menangis dalam arus sungai. Membuat ikanikan berlari ketakutan. Cairan berwarna merah menodai kejernihan air sungai. Mataku perlahan menutup bertepatan dengan tumbangnya seseorang yang mendekap mulutku dan sepertinya juga mengekang leherku tadi. Shani terbangun dengan tubuh bersimbah keringat. Tubuhnya bergetar hebat. Seluruh teman-teman kamarnya yang melihat kondisi Shani langsung mengerumuni kasur Shani. Dia tidak bisa berkatakata. “Shani, Limaza anti? Kamu kenapa?” tanya salah seorang temannya. Dia tidak bisa menjawab. Tatapannya kosong. Apa itu tadi? Kenapa wajah wanita itu terasa sangat familiar? Dan gadis yang berusaha mencelakakan aku itu – ah, aku tidak bisa mengingatnya. Apa mungkin gadis itu… Shani tenggelam dalam pikirannya. Berusaha mengais sisa memori yang dulu sempat terlupakan. Dia tersentak. Perlahan dia menyentuh bagian kiri jidatnya, ada sesuatu yang menonjol keluar. Sebuah luka garis memanjang berukuran 2 cm. Dia harus menemui seseorang, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
***
Tepat seperti dugaanya. Ketika rona merah fajar muncul, dia berangkat lebih awal ke tempat tahfidz untuk mendatangi wanita tua itu, yang ternyata telah berdiri dibalik gerbang pembatas antara dunia luar yang liar. Dia mengangguk mantap, berusaha memberanikan diri untuk mendekati wanita tua itu. Wanita tua itu masih membawa sehelai kain hitam yang dibawanya kemarin dan – tali serabut? Untuk apa dia membawa benda-benda itu? Batinnya. “Assalamualaikum bu, saya ingin menanyakan sesuatu, dan – oh, saya belum memperkenalkan diri. Perkenalkan, nama saya…” “Shani. Ya, saya sudah tau itu.” Wanita tua itu berkata dingin. Tetapi, terlihat jelas di manik matanya, muncul sebuah harapan yang dari dulu tak kunjung muncul. “Oh, baiklah,” gadis itu cukup terkejut. “Kenapa selama ini ibu selalu berdiri di depan gerbang? Kenapa ibu hari ini membawa sehelai kain hitam dan tali serabut itu? Dan kenapa wajah ibu ada di mimpi saya? Bukankah orang yang memiliki wajah seperti itu sudah…” Shani melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. Dia tidak bisa menghentikan lisannya. Kekhawatirannya membuat lisannya tidak dapat berhenti bertanya. “Meninggal.” Wanita tua itu tersenyum pilu. Punggung tangannya mengusap pipinya yang berladung air mata. “Wajah yang selama ini kamu lihat dalam mimpimu itu adalah wajah Ustadzah Dhea dan orang itu adalah saya,” ucapannya nyaris tidak terdengar. “Selama ini saya berdiri di depan gerbang sambil membawa kain hitam dan tali serabut, untuk mengingatkanmu akan kejadian itu. Saya tidak bisa masuk. Orang-orang telah menganggap saya monster. Saya kehilangan segalanya. Hanya kamu satu-satunya orang yang bisa merebut kembali keadilan yang dulunya pernah direbut. Hanya kamu, nak. Tolong bantu saya,” kata wanita itu lirih. Tangisnya pecah. Shani bingung harus menjawab apa. Dia tidak bisa berbuat banyak dari balik gerbang ini. Ujung matanya menangkap cepat cahaya yang terpantul dari kunci yang tergeletak di atas meja pos satpam. Sesaat, dia berlari menuju pos satpam, lalu kembali dengan kunci digenggamannya. Shani membutuhkan penjelasan, dan wanita tua itu – Ustadzah Dhea. Membutuhkan pertolongan darinya. Meskipun dia masih tidak tau dia harus menolong apa. “Pertama, jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang terjadi kepada saya sekarang, dan apa hubungannya sama…,” nadanya terdengar ragu untuk berucap, “Ustadzah Dhea?” Ustadzah Dhea menceritakan yang sesungguhnya. Shani menyimak dengan seksama. Sesekali dia berdecak kesal. Sesekali pula dia meneteskan bulir-bulir air mata. Semua ini tidak adil, pikirnya. Yang terjadi padanya dan Ustadzah Dhea tidak bisa diterima begitu saja. Keadilannya yang dulunya telah dicuri, kini harus direbut kembali, entah itu dengan cara apa. Yang bersalah tidak boleh terus-menerus bersembunyi dibalik bayangan. Sudah saatnya Shani melawan, meskipun itu temannya sendiri. Vania.
***
“Vania! Sudahlah mengaku saja! Kamu sudah gak bisa ngelak!” protes Shani. Wajah Vania memucat. Ustadz-ustadzah yang hadir, termasuk Ustadzah Dhea, sabar menunggu pertanggung jawaban Vania. “Vania, kalau kamu mau cari alasan lagi, masalahmu ini akan semakin rumit. Ceritakan saja, nak. Kita yang disini akan bantu kamu,” kata salah satu ustadzah. Shani menunggu penjelasan Vania. Jantungnya berdentum hingga ke telinga. Seketika, hawa ruangan Student Service Center terasa dingin. Salah satu ustadz meletakkan kain hitam dan tali serabut di atas meja. Muncul satu bulir air mata yang mengintip dari pelupuk mata Vania. “Benda apa ini? Ceritakan juga kenapa kamu membawanya.” “Saya membawa benda itu untuk mencelakakan Shani satu tahun yang lalu,” suaranya bergetar. “Kain hitam itu untuk mendekap wajah Shani dan tali serabutnya untuk menarik lehernya. Saya cuman mau kasih dia peringatan kalau jangan main-main sama saya. Tapi, waktu saya berusaha bikin dia tenggelam di air, Ustadzah Dhea malah menolong Shani. Tanpa sengaja, Ustadzah Dhea mendorong dan membuat tubuh saya ikut tercebur bersama Shani. Bertepatan saat santri yang lain datang untuk melihat apa yang terjadi,” dia terdiam sejenak. “Pada saat itu kain hitam dan tali serabutnya ada di tangan Ustadzah Dhea. Jadi, semua orang berfikir Ustadzah Dhea lah yang mencelakakan Shani dan saya, karena saya juga ikut tercebur waktu itu.” Ustadz-ustadzah mengangguk takzim. Sedangkan Shani berdecak tidak percaya. “Nak, kamu itu sudah bolak-balik masuk ruangan ini, dan itu karena masalah yang sama, yaitu melukai teman-temanmu. Tapi, perbuatanmu satu tahun yang lalu sudah sangat keterlaluan. Perbuatanmu mengakibatkan Ustadzah Dhea kehilangan pekerjaan dan kepercayaan masyarakat sekitar. Bahkan Shani pun juga kehilangan potongan dari ingatannya. Padahal sebentar lagi ujian kenaikan kelas, dan kamu masih saja seperti ini. Ustadz-ustadzah disini sampai kebingungan harus memberikan iqob apa. Jadi, untuk iqobnya masih belum kami putuskan. Untuk sekarang, kamu harus minta maaf ke semua orang yang telah kamu lukai, maupun itu dari hati atau fisik,” kata salah satu ustadzah. Vania segera memeluk Shani dan Ustadzah Dhea. Disela tangisnya, berulang kali dia meminta maaf. Apapun itu iqobnya, dia sudah siap. Dia tau kalau meminta maaf saja tidak akan cukup bagi Shani dan Ustadzah Dhea. Oleh karena itu, dia akan berusaha untuk mengubah sifat buruk yang telah menemaninya sejak kecil.
***
Jilbab mereka yang lebar dengan anggunnya berkibar mengikuti arah mata angin. Mereka berjalan mantap seraya menatap kondisi sekitarnya. Sudah sewindu mereka tidak menjejakkan kaki di tanah pondok ini. Gedung-gedung yang mereka lewati seakan-akan menjadi saksi bisu perjuangan mereka dalam menuntut ilmu. Seluruh santri berlomba-lomba mengucapkan salam terhadap Shani dan Vania. Tidak sedikit pula yang salim terhadap dua wanita dewasa itu. Mereka sangat rindu dengan suasana seperti ini. Selama perjalanan menuju kantor guru, cuplikan memori delapan tahun lalu, kini mulai tampak. “Ustadzah Dhea!” teriak Shani, menghampiri untuk memeluknya. Tubuhnya begitu kurus dalam dekapan Shani, lebih kurus dari yang ia ingat. Dia tidak pernah menyadari betapa semakin ringkih Ustadzah Dhea. “Bagaimana kalian bisa datang bersama ke sini?” dia memalingkan wajah. Ada kebahagiaan di matanya, kebahagiaan yang tak Shani pahami. “Kami ingin berterima kasih, ustadzah,” sahut Vania dari belakang, menyusul memeluk Ustadzah Dhea. “Karena, tanpa kejadian delapan tahun lalu, saya tidak akan sebaik ini. Maafkan kami ustadzah, karena baru sekarang kita bisa datang berkunjung,” nafasnya sedikit tersekat. “Jika ustadzah dulu tidak selalu berdiri di depan gerbang untuk memberi tau saya tentang hal itu, mungkin saya akan lebih sering dimanfaatkan orang lain, dan mungkin Vania juga tidak akan sadar dengan sifat buruknya,” kata Shania. Dia memandang Vania yang mengangguk terhadapnya, “Ustadzah, terima kasih atas semuanya!” ujar mereka serempak. Muncul secercah kebanggaan di mata wanita sepuh itu. Ustadzah Dhea tak kuasa menahan bendungan air mata. Dia tersenyum bahagia, tidak menyangka dua anak didik yang dulu memiliki masa lalu kelam, kini bisa datang bersama. Tidak ada aura kebencian diantara mereka berdua sekarang. Kehangatan sinar mentari sore membasuh mereka, membungkus dalam sebuah rangkulan yang tak dapat mereka miliki. Para santri yang melihat hanya bisa diam terpaku, terkesiap dengan pemandangan seperti ini.
*Penulis merupakan santriwati Tazkia IIBS. Cerpen tersebut berhasil menjadi salah satu juara pada kompetisi menulis nasional yang diselenggarakan oleh UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Cerpen tersebut juga telah dibukukan bersama penulis juara yang lainnya.