"Bangkitnya Sang Pembela" by Nur Abid Fadhlurrohman

Inggris mengintai segala arah
Belanda tak gampang menyerah
Tangan besi tak pernah mengalah

Suara erangan memenuhi langit malam. Mayat-mayat digantung di pinggiran. Tiada rasa ampun. Hutan-hutan dibabat. Tangan besinya sangat mudah untuk menyuruh. Siapa yang tidak menurut dengan mudah ia bunuh.

Desiran angin menambah kesejukan pagi. Seperti biasa, Bayan berlari menuju sawah, mengamati petani memanen padi. Ia memang pecinta alam. Tak tega melihat pohon ditebang. Apadaya, ia tidak bisa membantu. Setiap sawah dijaga oleh serdadu belanda, padi-padi tersebut milik pemerintah Belanda. Tanam paksa menyebabkan kemiskinan. Rakyat hanya bisa makan singkong, makanan termurah pada zaman itu. Untuk beras, jangan ditanya. Itu hanyalah makanan bangsawan. Hanya para raja, kanjeng, atau meneer yang bisa makan. Bayan memang bukan keturunan pribumi. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, dan matanya biru. Tak ada yang tau mengapa ia dinamai dengan nama pribumi.

“Bayann, kamu di panggil Raden Iskandar di benteng”, teriak seorang serdadu berseragam biru.

“Iya, tunggu”. Bayan segera berlari menyusuri padi-padi hijau. Menyambar capung. Menerjang ilalang. Ia tiba di sebuah benteng kokoh. Sudah ada serdadu yang berjaga di depan. Tak perlu menyebutkan identitas serdadu itu sudah mengenalnya. Ia menyelonong masuk benteng. Seorang bapak separuh baya berdiri di daun pintu, memakai pakaian khas jawa. Raden Iskandar adalah seorang penerjemah sekaligus asisten Gubernur Jenderal. Ia sempat belajar di Amsterdam selama lima tahun.

“Ayah memanggilku ?” ujar Bayan penasaran.

“Ya,” jawabnya pendek.

“Ayah akan menunjukkan proyek Gubernur Jenderal.” Raden Iskandar mengambil sebuah  peta dan membukanya lebar-lebar.

“Ini proyeknya, Gubernur Jenderal akan membangun jalan raya pos atau dalam bahasa belanda De Groote Postweg. Proyek ini terbentang dari anyer sampai panarukan. Sekitar 1000 kilometer kalau kita ukur. Jalan ini melewati kota-kota penting seperti Batavia, Buitenzorg, Parahyangan, Semarang, Surabaya, dan Probolinggo. Saat ini, jalan Anyer sampai Batavia sudah tersedia,” belum 10 menit Raden Iskandar menjelaskan seorang serdadu datang.

“Raden Iskandar, Anda dipanggil Gubernur Jenderal.”

“Baiklah, tunggu sebentar.”

“Bayan, ayah pergi dulu ya. Cepatlah pulang nak, sebelum Mpok Romlah memarahimu,” Raden Iskandar pun langsung pergi, meninggalkan Bayan sendirian. Tak perlu menunggu. Bayan langsung berlari keluar benteng. Rambut pirangnya menyibak udara siang. 

***

“Gubernur memanggil saya”

“Ya,” jawabnya pendek. Wajah gubernur dingin. Rambutnya pirang sebahu. 

“Kau pastikan pekerja yang akan membangun jalan raya pos,” kata Gubernur Jenderal tegas.

“Baik pak, bagaimana saya akan mencarinya?” tanya Raden Iskandar.

“Kau kumpulkan warga pribumi usia 15-40!”

“Tapi Pak, itu memaksa namanya.”

“Sudahlah, tak usah banyak protes! Cepat!” bentaknya mengagetkan seisi ruangan. Dengan segera, Raden Iskandar pergi. Ia harus mengirim surat ke seuruh penguasa. Ia langsung mengekang kudanya menuju kantor pos terdekat. Jika telat tak tau apa jadinya dirinya.

***

Raden Iskandar pulang kemalaman. Bayan telah tertidur pulas. Si Raden pusing memikirkan nasip rakyat yang dipekerjakan secara tidak manusiawi. Dia memang warga pribumi, tapi terhormat. Tak pernah menderita. Gubernur Jenderal memang kejam. Tak segan-segan menghukum rakyatnya. Membunuh sesuka hati. “Bagaimana jika berhenti jadi asisten. Ah, tidak mungki,” ucap dalam hari Raden Iskandar.

Mau atau tidak, proyek tersebut benar-benar terlaksana. Warga pribumi digiring menuju wilayah yang ditentukan. Bayan hanya bisa melihat dari jendela. Ada yang berbaju lusuh bahkan ada yang telanjang dada. Bayan tak mengerti apa-apa. Usianya baru delapan tahun. Ayahnya berdiri disamping Gubernunr Jenderal. Tak tega. Ia sendiri yang menyuruh tetua untuk mengumpulkan rakyatnya.

“Iskandar, kemarilah!” panggil Gubernur Jenderal.

“Ada apa meneer?”

“Apakah kau sudah mengirimkan suratnya?”

“Sudah, disetiap kota sudah saya kirimkan.” 

“Bagus, sebentar lagi Inggris tak akan menyerang kita lagi”, jawabnya sinis. Memang Inggris akhir-akhir ini banyak menyerang di sekitar pantai. Jadi, Belanda harus membangun sebuah benteng pertahanan di pesisir pantai utara.

Seorang serdadu membacakan peraturan pekerja. Semua tenang. Memang siapa yang berani berbicara saat Belanda bicara? huh, nyawanya tak akan bertahan 5 menit.

“Ketentuan pekerja. Pertama, bahwa tidak boleh ada yang melawan petugas saat ada yang menyuruh. Kedua, setiap kelompok akan diberi target pencapaian jalan. Siapa yang tak mencapai target, akan digantung di pinggir jalan. Ketiga, harus membangun sebuah pos di setiap 4,5 kilometer,” petugas selesai membacakan ketentuan. Hening. Tak berani ada yang protes. 1808, Kejadian tak manusiawi dimulai.

Suara cangkul memenuhi langit-langit siang. Serdadu Belanda berani mencaci, menginjak bahkan mencambuk siapa yang tak taat. Panasnya siang tak mengurani kekejaman serdadu. Bayan, anak kecil itu, berdiri mematung di depan rumahnya. Rumahnya memang dilewati Jalan Raya Pos. Rumahnya bukan di Batavia, 5 kilometer lebih jauh. Belanda sengaja menggiring rakyat agar membangun rumah di pinggiran jalan agar lebih mudah mengatur. 

Bayan melihat ada seorang pekerja badannya kurus kering. Seolah tinggal tulang dan kulit. Sambil berlumurah darah ia memohon kepada serdadu. Belanda merampas hak rakyat, mungkin dipikirannya pribumi hanyalah rakyat bodoh.

“Meneer, ampunilah hamba,” nadanya memohon. Pastilah dia dicambuk. 

Ayah Bayan, mengamati langsung pembangunan jalan, mendampingi Gubernur Jenderal. Orang Belanda itu menatap sinis, seolah tak peduli dengan rakyat jajahannya. Huh, inlander rendahan. Inlanders adalah sebutan untuk warga pribumi. Biasanya, derajatnya lebih rendah. Tapi tak semua. Pribumi sering dipaksa kerja rodi. Mengangkut beras, mengangkut material, bahkan mengangkut pejabat-pejabat Belanda. Sungguh tak manusiawi. Kehidupan mereka pun mengenaskan. Pakaian yang membalut tubuh mereka hanyalah karung goni. 

Yang di pekerjakan bertambah. Pribumi bahkan tak mendapatkan wiyata yang memadai. Kaum perempuan tak boleh sekolah. Beruntung bayan mempunyai ayah seperti Raden Iskandar. 

***

“Bayan, ayo makan. Keburu dingin masakannya”, Mpok Romlah berteriak. Ia adalah pembantu di rumah Bayan. Bercincin emas. Harta satu-satunya.Tak terlalu tua usianya, sekitar kepala tiga. Tak tau apa yang menyebabkan dia dipanggil “Mpok”. Seperti nama tua. Dia perempuan penyayang dan pastinya, menyukai anak kecil.

“Bayan tak mau makan,” ujarnya kesal.

“Mengapa Bayan?” tanya Mpok Romlah. Bayan tetap tak menjawab. Ada tumpukan kesedihan diwajahnya. Bayan merasa kasihan kepada pekerja rodi. Ah, aku tau yang harus kulakukan, pikir Mpok Romlah.

Mpok Romlah segera mengeluarkan kuda berwarna putih salju. Surainya menari mengikuti irama udara. “Ayo Bayan kita berangkat”, ujar Mpok Romlah semangat.

“Kemana?”

“Ayolah, bisakah kau bersantai sebentar?”

Bayan pun naik. Ia tak tau mau dibawa kemana. Yang penting ikut sajalah. Mpok Romlah memegang tali kekang. Mengendarai kuda. Melewati hutan jalan-jalan berdebu. Menaiki bukit. Melintasi sungai berbatu. Setibanya disana, pohon rindang langsung menyambut. Sejuknya udara menyeruak hidung. Memandang hijaunya pohon, bagi Bayan itu adalah kesenangan tersendiri.

“Wow, ternyata ada hutan seindah ini,” kata Bayan terkagum-kagum. Tak terasa, badannya langsung loncat ke rerumputan hijau. Tak peduli bajunya kotor atau tidak. 

“Iya Bayan. Mpok juga sudah mengakui. Ini hutan terindah yan pernah aku kunjungi.” ujar Mpok Romlah berkaca-kaca. 

“Ini daerah Buitenzorg, kawasan pegunungan.”

Sekejap kalbunya sangat tenang. Bayan tak merasakan kesedihan. Pinus merkusii menjulang tinggi. Daun hijaunya menyejukkan mata. Penyumbang oksigen. Kanopi pohon menutupi sinar matahari. Membuat dasar hutan tak terkena terik. Casuarinaceae berdiri gagah di pinggir sungai berbatu. “Pasti seru kalau duduk disana”, Bayan langsung berlari menerjang rerumputan. Kakinya dimasukkan ke air. Sejuk. Kepalanya menyandar di batang pohon. Burung berterbangan. Berkicau suka ria.

“Bayan, ini namanya pohon Ek. Berasal dari bahasa Belanda yaitu Eik.” Mbok Romlah menjelaskan sambil menyentuh sebuah pohon besar.

Sejuknya udara hutan membuat nyaman penghuninya. Capung berterbangan sepanjang sungai. Pohon-pohon berdiri tegak tanpa pengusikan. Tidak seperti di Anyer cuma hanya ada pohon kelapa sepanjang mata. 

“Bayan, didekat sini ada perkebunan teh. Tetapi, milik Belanda. Kau mau kesana?”

“Tidak mau ah, males sama serdadu,” ujar Bayan kesal. Akhir-akhir ini dia memang sangat benci. Melihat alam dirusak apalagi. 

Nampak Cervidae bertanduk panjang berlarian. Menyibak pohon dan rumput. Bayan berusaha mengejar. Tapi terjang kakinya kalah olehnya. Ia tersenggal menahan capek. Menangkap belalang menjadi pilihan terkhirnya. Semua hewan dikejar. Tak kuat. Nafasnya tersenggal, tetapi tetap tertawa. Mpok Romlah cuma menjaga agar tak lari kejauhan.

Matahari sudah nampak di ujung. “Ayo Bayan, segera pulang kalau tidak serdadu akan menagkapmu,” ujar Mpok Romlah terburu-buru. “Ayo”, ujar Bayan sambil mengangkut beberapa daun yang berjatuhan. Sebagai kenang-kenangan. 

Kini Bayan duduk di depan pelana. Ingin menikmani angin sore. Kuda bersurai putih itu melaju kencang. Langkahnya menyapu pasir serta menerjang sepanjang perjalanan. Bayan menikmati angin sore. Tak tau datangnya dari mana. Tiba-tiba rintik air memenuhi langit. Langit mendung seketika.

***

Waktu yang sama, di tempat yang berbeda.

Hujan. Pekerja tak berhenti. Tetap mengeruk tanah, menebang pohon, mencabuti rumput liar. Tak ada ampun. Becek dimana-mana. Semua basah kuyub, kecuali Gubernur Jenderal dan stafnya tentunya. Raden Iskandar menahan amarah. Tapi percuma, jika marah dan melakukan perlawanan. Dia akan ditembak mati.

 

***

Mpok Romlah memarkir kudanya. Bergegas masuk rumah. Perutnya keroncongan, ia sengaja memasak spesial hari ini, Semur Jengkol. Walau bau tak sedap. Masakan ini adalah favorit Bayan. Kuah coklat kental berkelimang campur dengan jengkol. Dengan lahapnya Bayan menyantap. Mpok Romlah tak bisa makan semewah itu. Ia hanya makan singkong kualitas rendah yang direbus. Belanda memonopoli rempah dan bahan makanan lain dengan licik.

Tak lama. Tiba-tiba Raden Iskandar datang. Bajunya kusut, rambutnya compang-camping, dan wajah keruhnya menambah “kengerian” beliau. 

“Ayah habis kemana? kok tampak keruh?” tanya anaknya terheran-heran

“Sudahlah, nanti ayah ceritakan. Mpokkkk.... segera kemasi barang-barang, kita akan pindah”

“Loh, pak mau kemana?” tanya Mpok Romlah keheranan.

“Suatu tempat yang aman.” Raden Iskandar langsung mengambil koper paling besar. Mengemas semua dokumen penting. Rumah dikosongkan. Mpok Romlah juga ikut pindah. Dia adalah pembantu setia sudah 7 tahun menemani.

Bulan sabit menggantung. Pantulan sinarnya menyinari pohon, bayang-bayang menaungi Anyer. Angin bertiup kencang nyiur menyibak ramput hijaunya. Keluarga mungil itu telah siap. Menaikkan barang-barang ke kereta kuda. Malam ini juga mereka harus pindah.

“Ayah mengapa kita harus pindah?” Bayan menanyakan pertanyaan yang sama, tetapi belum terjawab.

“Ayah sudah lelah bekerja dengan Gubernur Jenderal?” diwajahnya nampak kekesalan.

“Mengapa?”

“Tak tahan melihat rakyat sengsara. Apalagi melihat hutan dibabat.” Sekarang wajahnya memerah.

“Bayan dengarlah! ini rahasia, sebenarnya ayah adalah aktivis perlindungan hutan, maka dari itu ayah tak mau ada orang yang membabat hutan semaunya sendiri”, Bayan hanya mengiyakan, ia berjanji akan menjaga rahasia ayahnya.

“Sebenarnya siapa itu Gubernur Jenderal?”

“Dia adalah Herman Willem Daendels, pemegang kekuasaan tertinggi. Julukannya bermacam-macam: Tangan Besi, Mas Galak, dan Jenderal Guntur. Gubernur Jenderal umumnya adalah seorang gubernur dengan pangkat tinggi, atau seorang gubernur utama dengan pangkat di atas gubernur yang biasa. Gubernur jenderal secara umum mengacu kepada seorang pemimpin yang ditunjuk oleh suatu monarki guna memimpin dan menguasai sebuah wilayah tertentu.” Bayan hanya manggut-manggut. Dia tak faham dengan kata-kata setinggi itu.

“Taukah kau Bayan, menebang hutan sangat menyengsarakan bagi warga pribumi. Mereka tak bisa mencari makanan liar dihutan. Hewan-hewan juga sengsara, rumahnya digusur begitu saja oleh orang yang tak merasa berdosa”, kalimatnya berapi-api. Membuat Bayan terkaget.

Akhirnya mereka sampai ditujuan. Hanya rumah kayu kecil, pinggir hutan pula. Sungguh tak nyaman. Mereka langsung memindahkan barang-barang. Sudah tengah malam. Bayan telah tertidur di bangku kereta kuda. Digendong ayahnya masuk rumah.

***

“Lapor Pak, Raden Iskandar sudah saya cari. Nihil hasilnya. Kudanya sudah tiada sejak semalam”, lapor seorang komandan.

“Sudah kau cari di rumahnya.”

“Kosong pak. Bahkan semuanya redup. Sepi, tiada orang dirumah”

“Dimana pribumi sialan itu hah!!!” Gubernur Jenderal menggebrak meja. Semuanya terperanjat. Diam. Sunyi. Serdadu itu tak berani berkata. Mau mengeluarkan kata-kata, tapi mulutnya tak mau bergerak.

***

Suara cangkul, arit, dan kapak. Membangunkan Bayan pagi-pagi. Pohon-pohon bersahutan tumbang. Satu persatu. Sudah banyak mayat menggantung di sisi jalan. Bau bangkai bercampur keringat menambah kesumpekan pagi itu. Oksigen pohon tak bisa mengatasi. Karena sudah dibabat habis. Rusa hutan berlarian. Berpindah hutan.

Bayan langsung membangunkan ayahnya. Mpok Romlah otomatis bangun mendengar Bayan membangunkan ayahnya. Raden Iskandar terkaget, segera memakai baju resmi. Tanpa basa-basi. 

Keluarga kecil itu langsung berhambur keluar. Kaget. Gubernur Jenderal telah berdiri depan pintu, dengan gagah dia menyapa Raden Iskandar.

“Hai, Iskandar. Rumah baru?” tatapan wajahnya sinis. Alisnya terangkat sombong.

Dengan muka memerah Raden Iskandar berusaha memukul Gubernur Jenderal. Apa daya, pukulannya ditampis dengan mudah. Ia mengaduh kesakitan.

“Hanya segitu kekuatanmu.” Wajahnya meremehkan. Tak lama, Bayan maju. Tubuh kecilnya tak sebanding dengan Gubernur Jenderal. Tapi, diwajah Bayan muncul keberanian. Ia tak tahan dengan ulah Gubernur Jenderal yang semena-mena. Menebang pohon, di hutan yang ia cintai. Kakinya menerjang antusias. 

“Apakah pak Gubernur tak sadar? Bagaimana mungkin Anda merusak hutan dengan tangan besi Anda. Bagaimana jika hutan rusak, tak ada tempat bagi kita berna.....”, Bayan protes, omongannya dipotong. Walau masih delapan tahun. Pemikirannya sudah dewasa.

“Pohon masih banyak di dunia nak. Sudahlah hentikan omong kosongmu!”

“Walau masih banyak, kita harus tetap menjaga pak. Menjaga lebih baik daripada mengobati. Pohon menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen yang diperlukan kita untuk bernafas. Apakah bapak tidak memikirkan itu? Pohon juga sebagai penyimpan air. Akar-akarnya menyimpan air agar tak gampang longsor. Hutan juga sebagai hewan berlindung. Kita harus menjaga hutan pak, demi kelestarian hewan-hewan tersebut,” pidatonya lantang. 

“Sudahlah!! Kau tak tau apa-apa,” Gubernur Jenderal menggeretak.

“Bapak juga sudah kelewatan batas, melangggar hak. Pribumi juga perlu istirahat pak, bukan untuk di siksa”

“Diam saja kau!! Tak punya waktu untuk itu”, Gubernur Jenderal beranjak pergi. Segera, Bayan menahan kakinya. Gubernur Jenderal menggeram. Ia tak bisa berjalan. Seorang serdadu segera datang, tetapi Raden Iskandar menahan. Pedangnya teracung tinggi. Menahan serangan serdadu. Bayan tetap di posisinya. Serdadu tersebut terkapar tak berdaya. Perutnya tertancap pedang.

Argg.....

Suara erangan itu mengagetkan Bayan. Itu bukan suara Gubernur Jenderal, itu suara Raden Iskandar. Tak percaya. Terlihat seorang perempuan menancapkan belati. Tak lain, itu adalah Mpok Romlah. Bayan langsung lemas. Dengan mudah Gubernur Jenderal melemparnya. Jatuh tersungkur, ia segera bangkit. Lari menuju ayahnya. Mpok Romlah langsung lari, tanpa mencabut belati. 

“Bagus Romlah,” puji Gubernur Jenderal.

“Aku sudah lelah bersamamu Iskandar, gaji Belanda lebih banyak, daripada inlander sepertimu.” Mpok Romlah berangsur pergi, berbareng dengan Gubernur Jenderal.

“Apakah ayah baik-baik saja?” mata bayan sudah sembab.

“Bayan aku akan ceritakan suatu kisah,” suaranya melemah.

“Mengapa wajahmu berbeda dengan wajahku? itu karena kamu adalah anak angkatku, mohon maaf Bayan. Selama ini aku tak bisa menemukan orang tuamu. Sudah seluruh Belanda ku kelilingi. Tak ada satupun yang mengaku. Aku menemukanmu di kabin kapal barang nak, kondisimu mengenaskan. Umur 3 bulan mungkin. Lalu, kubawa kau pulang. Aku menitipkanmu ke Mpok Romlah, dan aku pergi ke Belanda untuk mencari orang tuamu. Tetapi, aku tak menemukan, jadi aku belajar di sana sampai 5 tahun. Maafkan aku nak.” Raden Iskandar terdiam. Ia tersenyum. 

“Oiya, ayah punya sebuah buku, mungkin bisa menyadarkan orang banyak akan pentingnya hutan. Tolong simpan baik-baik,” nafas Raden Iskandar melemah, menyisakan nafas Bayan sendiri.

“Ayah... jangan kau tinggalkan Bayan sendiri”, Bayan menangis. Tapi telah terlambat. Ia telah tiada. Sesungging senyumnya membuat kerinduan. Bayan berpelukan untuk yang terakhir kalinya.

“Aku berjanji yah, suatu hari aku akan membanggakan ayah” 

***

Lima tahun kemudian

Pemuda tegap itu menaiki panggung. Hidung mancungnya di penuhi keringat. Ia tampak rapi, menggunakan jas hitam. Riuh tepuk tangan menggelegar ke seluruh ruangan. Ia tampak percaya diri. Di tangannya tergenggam  sebuah teks pidato. Ia akan berpidato, mewakili komunitas lingkungan. Dua tahun terakhir ia mendapatkan banyak penghargaan.  

“Para hadirin semua, saya akan menyampaikan pentingnya hutan. Apakah anda pernah berpikir akan pentingnya hutan? Hutan adalah tempat berlindung hewan. Tanpa adanya hutan hewan pasti akan punah”, suara lantangnya bergema ke seluruh ruangan. 

”Bayangkan rumah anda dirusak, apakah Anda akan marah? Pasti iya. Bagaimana jika ciptaan Tuhan dirusak, pastinya Tuhan akan marah besar.”

Setelah sekitar 1 jam berpidato, tepuk tangan riuh kembali menggema. Ia langsung disambut oleh pemelopor penghargaan. Mahkota emas telah dibawanya, disematkan dikepala pemuda tersebut. Ia tak lupa atas jasa ayahnya.

“Saya tidak lupa, atas jasa ayah. Karena dia telah menulis buku yang menginspirasi banyak orang.” Matanya berkaca-kaca sambil menggenggam sebuah buku bersampul merah yang telah dijahit rapi.

“Ayah saya meninggal dalam penyelamatan hutan, saya berjanji akan membanggakannya, ia masih hidup dalam hati saya terdalam,” pidatonya diakhiri. Ia turun dengan mata berkaca-kaca, baginya hutan adalah separuh dari hidupnya.














Share this post