Providing An International Standard Hospitality, Upholding Moral Development in Islamic Boarding School
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah tamu Ibrahim yang dimuliakan. (Ingatlah) Ketika mereka masuk ketempatnya lalu mengucapkan, ‘Salamun’, Ibrahim menjawab ‘Salamun’, kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar) lalu di hidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata, ‘Silahkan kamu makan’…. (QS Adz Dzariyat 24-27)
Adalah sepenggal kisah yang terukir dalam salah satu surat Al Quran yang menceritakan kepada kita kisah Nabi Ibrahim yang kedatangan tamu. Mereka tak lain adalah malaikat Jibril, malaikat Mikail dan malaikat Israfil, menjelma dalam sosok pemuda yang tampan-tampan lagi berwibawa.
Setelah membalas salam penghormatannya yang terbaik, Nabi Ibrahim berkata “(kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal (asing)”. Namun demikian Nabi Ibrahim mempersilahkan dan bergegas menemui keluarganya dan kembali menemui tamunya dengan menyuguhkan makanan dari ternaknya berupa daging anak sapi yang dipanggang seraya meminta tamunya menyantap hidangan tersebut dengan cara dan ucapan terbaik.
Apa yang telah dilakukan Nabi dan keluarganya merupakan akar sejarah dan konsep utama dalam definisi melayani dengan penuh kesopanan dan nyaman. Meskipun tidak mengenal tamu yang datang, Nabi Ibrahim tetap menjamu dengan ketulusan dan kemuliaan. Kisah itu menjadi suri tauladan yang patut diteladani perihal memberikan yang terbaik dalam menjamu dan melayani kebutuhan dari tamu yang hadir di tempatnya.
Nabi Ibrahim telah memberikan contoh yang sangat patut untuk ditiru. Dari kisah di atas pula kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Nabi Ibrahim juga telah meletakkan pondasi bagaimana cara memberikan pelayanan yang baik pada tamu. Jika kita mengambil dari bahasa inggris, apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim termasuk bagian dari hospitality.
Secara etimologi, kata hospitality berasal dari bahasa Proto-Italic “hospes”. Kata “hospes” tersebut merupakan gabungan kata “hostis” yang berarti orang asing, dan “postis” yang berarti tuan rumah. Turunan katanya ‘hospitalis’ yang berarti ruang tamu atau penginapan.
Menurut Mill (1990) : The hospitality of an area is the general feeling of welcome that tourists receive while visiting the area. People do not want to go where they do not feel welcome. Jika diartikan secara bebas, hospitality adalah tempat dimana wisatawan dapat merasa diterima ketika mengunjungi tempat itu. Orang-orang tidak akan datang jika mereka merasa tidak diterima (Hermawan et al., 2018).
Hospitality bukan hanya tentang menjual kamar-kamar hotel kelas elit, ataupun menjual makanan-makanan enak untuk sekadar memenuhi kebutuhan perut. Akan tetapi bisnis hospitality adalah bisnis yang membutuhkan jiwa atau ruh dalam sendi-sendi operasionalnya. Dengan kata lain, Hospitality adalah perihal menciptakan produk mati menjadi hidup, sehingga langsung dapat menyentuh perasaan pelanggan sebagai manusia yang juga memiliki jiwa (Hermawan et al., 2018).
Hal itu selaras dengan value yang selalu digaungkan di Thursina dalam hal pelayanan. Religiusitas dimasukkan dalam pelayanan di Thursina International Islamic Boarding School (IIBS) dengan mencontoh salah satu kisah sahabat Nabi Muhammad SAW. Sepasang suami istri yang sederhana namun sepenuh hati menjamu tamu sang Nabi. Waktu itu seperti biasa Nabi Muhammad SAW kedatangan tamu, dan menawarkan dari sahabatnya siapakah yang mau menjamu tamunya.
Mengira ada cukup makanan dirumah, sahabat tersebut mengetahui dari istrinya jika ternyata hanya tersisa makanan untuk cukup satu orang, itupun untuk sang anak. Singkat kisah sang ibu membujuk anak tidur, dan sahabat menemani tamunya makan dengan taktik lampu rumah yang diredupkan dan meminta tamunya melahap hidangannya sampai habis, sedangkan sang tuan rumah berpura pura makan.
Praktek memuliakan yang dicontohkan sahabat Rasulullah ini bukan sekadar kisah. Namun ditiru dalam pelaksanaannya di Thursina. Excellent Service adalah patokan dalam pelayanan yang dilakukan sehingga dapat membuahkan pelayanan yang maksimal bagi tamu maupun pengujung atau wali santri. Mengawali seluruh pelayanan, petugas front office akan melemparkan senyum. Senyum adalah bahasa universal yang dimaknai sebagai tanda menyambut dengan ramah, atau sekedar menyapa dengan lembut. Begitu pula bagaimana Nabi Muhammad SAW mengajarkan, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR At-Tirmidzi).
Setidaknya 6 prinsip yang dijalankan dalam proses pelayanan yang berjalan di Thursina. Enam prinsip ini berdasarkan apa yang difirmankan oleh Allah SWT diantaranya Qaulan Sadidan (An Nisa ayat 9), Qaulan Balighan (An Nisa ayat 63), Qaulan Mansyuran (Al Isra ayat 28), Qaulan Layyinan (Thaha ayat 44), Qaulan Kariman (Al Isra ayat 23), dan Qaulan Ma’rufan (An Nisa ayat 5).
Menyelaraskan dengan pendidikan, aktivitas di sekolah bukan hanya sekadar memberikan pembelajaran dalam kelas saja, namun contoh dari seluruh elemen pendidik juga menjadi faktor terbesar dalam pendidikan di pesantren. Thursina IIBS terus memberikan contoh-contoh tersebut dengan memberikan qudwah hasanah dalam pelayanan terbaik dalam menerima tamu. Penekanan nilai juga dilakukan dengan percontohan yang saat ini berjalan yaitu dengan penekanan moral berperilaku, berakhlak dengan manusia lainnya.
Qudwah ini secara perlahan namun pasti terus diinternalisasikan ke seluruh santri. Dengan demikian Thursina IIBS mengedepankan pengembangan moral, akhlak, sehingga menciptakan generasi madu peradaban kedepannya.
Wallahu’alam bi showab
Ditulis oleh: Ustadz Sabar Arifin, M.M - (Chief of Relations and Enrolment Office Thursina IIBS)