"AKU YANG LAIN" by Tuffahati Attallah
Ratna berdiri di hamparan padang rumput yang terbentang luas dihadapannya. Ia menghembuskan nafasnya kasar. Lagi-lagi, orangtuanya bertengkar. Ribut soal masalah sepele! Dasar orang dewasa, apa tidak bisa memberi contoh pada anaknya? Kalau aku seperti mereka saat dewasa, bagaimana? Perempuan berhidung mancung itu membatin sambil menanjaki bebatuan yang agak tinggi.
Rambut panjangnya yang kemerahan terurai, ia membiarkan helaian rambutnya menyapu wajah kuning langsatnya yang mirip dengan orang-orang Timur. Ratna hanya memandang kosong sinar senja itu. Menerawang. Dalam benaknya masih melayang-layang berita tentang Gaza. Gaza? Mirisnya dia memikirkan nasib mereka. Mereka sama-sama ingin kebebasan. Ratna beringsut turun dari bebatuan itu, lalu menyusuri setapak jalan tikus yang menuju rumahnya. Cukup untuk jalan-jalan senja kali ini. Malah makin panas otak Ratna memikirkan masalah orangtuanya.
Berjalan ke rumah membutuhkan waktu yang agak panjang, jadi ia baru sampai di rumah saat panggilan berbahasa Arab telah menggaung di toa tempat ibadah dekat kompleks rumahnya.
Ia membuka pintu rumahnya, yang ternyata tak terkunci. Bersiap menerima teriakan maut dari Ayah dan Mamah karena terlambat pulang. Ia merunduk beberapa saat.
Hening.
Suasana rumah benar-benar lengang. Baiklah. Jadi begitu, dia sendiri. Ia menghela nafas lega. Setidaknya dia tidak mendengar suara piring pecah atau teriakan kemarahan. Bagus! Ia berlari menuju kamarnya, tempat paling aman menghindari letupan kemarahan bak gunung vulkanik. Segera ia menuju ranjang, langsung tertidur tanpa membersihkan badan sedikitpun.
***
Nabilah melihat kertas pidato yang sedari tadi digenggamnya. Pidato berisi tentang kemerdekaan suatu negara. Sedangkan Aisha hanya menatapnya bingung. Terlalu ambisius, batin Aisha. Mana mungkin kami mendapatkan kemerdekaan. Ya, itu tugas dari sekolah. Ibu gurunya menugaskan Nabilah untuk tampil berpidato depan teman teman saat bermalam di hutan dekat sekolah, lusa. Karena Nabilah yang menurut gurunya sangat percaya diri.Aisha menggeleng, penutup rambutnya yang lebar ikut bergoyang mengikuti irama angin. Dari sore menjelang petang itu, awan membentuk mega yang indah. Gadis Arab itu hanya mendongak, membiarkan Nabilah berteriak-teriak untuk latihan pidato.
Tiba-tiba, sebuah kejadian mengiang di benak Nabilah, kejadian enam tahun silam. Masih terekam jelas di memorinya, bagaimana keluarganya terbunuh di tangan orang-orang kejam itu. Dan sekarang? Dia terpaksa tinggal di rumah orang tua angkatnya yang sama sekali tidak memperhatikanya dan suka sekali bertengkar. Memalukan.
Perempuan yang sedari tadi melamun setelah latihan pidato itu menyadari kebosanan temannya menunggu. “Pulanglah duluan, Sha. Aku mungkin bahkan masih lama lagi. Menunggu adzan maghrib berkumandang.” Nabilah terduduk di samping Aisha. “Oke,” Aisha bangkit, lalu meninggalkan Nabilah sendiri, bagaikan sinar matahari yang hilang dibalik bukit, hingga gadis Arab itu menghilang, meninggalkan satu titik tak terlihat.
Nabilah menghela nafas, bersiap berpidato lagi.
“.....Kebebasan adalah hak seluruh bangsa!”
----------------------------------------------
“Pasal 1 bahwa tanda palang merah dan juga kata-kata palang merah hanya boleh digunakan untuk menandakan atau melindungi para petugas, bangunan-bangunan, alat-alat yang dilindungi dalam Konvensi-konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Untuk itu, ditentukan suatu daftar siapa saja yang berhak untuk menggunakan lambang dan/atau kata-kata palang merah (Pasal 2). Larangan juga ditetapkan dalam hal terjadi peniruan oleh perseorangan, perkumpulan, badan-badan, perusahaan, atau yang lainnya (Pasal 3) dan sekaligus menetapkan sanksinya bagi siapa saja yang melanggar ketentuan ini (Pasal 5-7).”
Begitu sekiranya isi blog yang Ratna buka.
Tugas dan Hak Palang Merah :
Memantau kepatuhan para pihak yang bertikai kepada Konvensi Jenewa
Mengorganisir perawatan terhadap korban luka di medan perang
Mengawasi perlakuan terhadap tawanan perang (Prisoners of War – POW) dan melakukan intervensi yang bersifat konfidensial dengan pihak berwenang yang melakukan penahanan.
Membantu pencarian orang hilang dalam konflik bersenjata (layanan pencarian)
Mengorganisir perlindungan dan perawatan penduduk sipil
bertindak sebagai perantara netral antara para pihak yang berperang
Tidak dirusak dengan cara apapun
Ratna mengernyitkan dahi. Tugas kali ini benar-benar membuatnya pusing bukan main. Ia disuruh mencari tentang hak-hak organisasi humanitas. Kenapa? Kata orang-orang pidatonya bagus. Pidato apa? Ratna benci tampil di depan umum. Khalayak ramai itu membuatnya sesak. Kapan ia pidato? Ia mengurut-urut hidungnya yang mancung, kebiasaannya saat bingung. Mungkin mereka melihat saat aku ceramah di depan adik kelas yang kurang ajar, batin Ratna.
Yek. Itu sama sekali tidak keren.
Bisikan itu. Ia menggeleng ketakutan. Seharian ini ia seakan selalu mendapat jawaban atas apa yang dia pikirkan. Seakan-akan itu adalah penguntit—atau orang jahat yang membencinya?!
Ratna menghela nafas pelan, kembali menegakkan tubuh dan berselancar di jaringannya. Rileks, Rat. Semua baik baik saja, bukan? Benaknya mulai berkata-kata, memikirkan segala hal-hal baik.
****
Sore itu, Nabilah dan Aisha berembuk dengan asyik di kamar. Masalah Ratna, teman Nabilah.
“Tahu Ratna? Menyebalkan. Aku yang membacakan pidatonya, malah dia yang disuruh mencari tentang undang-undang keadilan dan palang merah yang tercantum di pidatoku. Kesal. Dari dulu memang dia menyebalkan. Apaan sih, melarang-larangku mendapat kesempatan lagi untuk diperhatikan khalayak.” Nabilah membolak balikkan kertas pidato yang sudah lecek sambil bersila di atas kasur.
“Mana kutahu,” Aisha dengan cueknya berbaring sambil mengedikkan bahu. “Tidak peduli. Itu kan temanmu, bukan aku.”
Nabilah mendecak jengkel. Tiba-tiba, ada suara dua orang membanting pintu di luar kamarnya dan beradu mulut. Ia memutar mata.
“Aisha, cepat tidur sebelum hal yang paling kubenci terjadi,” Nabilah menyelusup kedalam selimut, berpura-pura tidur hingga akhirnya ia benar-benar terlelap pulas.
****
“Benar-benar. Ini tidak biasa. Aku akan mengajukannya pada spesialis kejiwaan,” Dokter Hendri menutup buku catatannya, menatap Ratna lekat pada manik hitamnya. Ratna mendesah kesal.
Ratna membeliak kaget, begitupun Mama yang terkesiap. Sedetik kemudian, ia menunjukkan argumentasinya.
“Aku bukan orang gila. Mungkin—mungkin, aku, dikuntit orang lain—tapi, ah, aku tak bisa menjelaskannya. Pokoknya aku bukan orang gila! Ya, kan, Ma? Walaupun Mama dan Ayah setiap hari bertengkar, bukan berarti aku gila!” Ratna menceracau di dalam dekapan Mama.
“Aku hanya bilang, ini tidak biasa. Aku sudah pernah mendapat laporan ini setelah selama tiga tahun menjadi psikiater remaja. Gadis lain mungkin mengalami gejala stress, namun kau mengalami lebih. Kau merasakan banyak waktu terlewati, adanya suara-suara jawaban negatif dan kau ditanyai tentang hal-hal yang tidak pernah kau alami sebelumnya. Gangguan-gangguan yang terjadi tidak disebabkan karena efek psikologis dari substansi, seperti alkohol, obat-obatan, atau karena kondisi media seperti demam.” Dokter Hendri membuka buku-buku tebal yang tersusun rapi di rak yang membelakanginya.
Ratna mengernyitkan dahi, tidak suka. “Aku? Tentu saja, aku bukanlah orang gila! Tidak mungkin... aku bukan orang gila, aku hanyalah gadis berumur lima belas tahun yang akan menjalani masa remajanya dengan tenang, iya kan, Ma?”
Mama langsung memboyongnya menuju mobil sebelum Ratna sempat menyumpah-serapahi psikiater yang sudah berusia kepala empat itu.
****
“Ratna memang gila, bukan? Dia jelas-jelas tidak mempercayai masih ada aku disini, cih.” Nabilah mendecih kesal. Aisha termangu, menatap ilalang yang menjadi saksi bisu setiap keluhan Nabilah.
Aisha menghentikan lamunannya, beralih pada Nabilah yang mengoceh sendiri. “Kalau dia percaya, dia akan menghindarimu dan membencimu. Atau malah membuatmu lenyap.” Ia mengambil satu petikan bunga dandelion yang siap menebarkan bibit.
“Bagus! Dia menghindariku? Namun, takkan kubiarkan dia melenyapkanku. Aku yang berhak mendapatkan kebebasanku.” Nabilah mengepalkan telapak tangannya, meninju udara sore yang lumayan sepoi-sepoi.
Aisha menggelengkan kepalanya, tetap dengan sikap cueknya, tak menanggapi kata-kata Nabilah yang tak seberapa penting.
Gadis keturunan arab itu meniup dandelion yang ia pegang.
Terbang.
Jauh, hingga tak terlihat lagi.
Selamat tinggal, bibit kecil. Dapatkanlah hidup barumu.
****
Larut malam itu seorang lelaki berbadan besar memasuki rumah. Pintu tidak dikunci, sengaja. Mama yang ada di ruang tamu sedari tadi menghampiri koridor depan, naik pitam karena sudah tahu siapa yang datang. Ayah.
“Kau benar-benar kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab! Hanya aku yang mengantar Ratna ke psikiater, harusnya itu tanggung jawabmu! Sudah berapa hari kau tidak pulang!?” Mama menunjuk batang hidung lelaki itu.
“Aku pulang atau tidak, itu bahkan bukan urusanmu! Kau yang tidak becus mendidiknya! Hingga dia menderita kejiwaan seperti itu, bukankah itu salahmu?! Mereka kan titip dia kepadamu!” Lelaki dewasa itu sudah siap melayangkan tangannya ke wajah Mama.
Tiba-tiba, di ambang pintu kamar, Ratna sudah berdiri tegak membawa ransel dan memakai mantel. Ekspresi wajahnya tidak bisa di tebak. Dan tatapan dari manik hitamnya. Tajam, flat, datar, kosong. Tepatnya tanpa ekspresi.
“Kalau kalian tidak ada yang ikhlas mengantarku, aku bisa pergi sendiri.”
Ratna berlari, keluar dari kediamannya yang nyaman, menuju kearah gang-gang kecil, menghindari kejaran. Satu tujuannya—rumah psikiater yang bernama Hendri itu. Suara batinnya angkat suara,
Betapa nekatnya kau. Ini sudah jam dua belas tepat.
Anehnya, dia berani membalas perkataan yang terngiang di benaknya itu.
Masa bodoh, memang.
****
Ratna duduk di kursi ruang keluarga psikiater itu, wajahnya bersimbah air mata.
Dokter Hendri sudah faham apa yang telah terjadi, dan disini dia menemukan satu poin penting. Trauma masa kecil. “Sungguh luar biasa. Kau pasien keduaku yang mengalami kelainan mental MPD—“
Belum selesai dokter tersebut berbicara, Ratna telah menyelanya terlebih dulu. “Apa MPD? Apakah bahaya?”
“Multiple Personality Disorder, atau yang biasa kau sebut kepribadian ganda. Pada umumnya, kepribadian ganda bisa disembuhkan. Dan gejala-gejala pengidapnya telah kau alami. Pengidap penyakit ini menjalani dua kehidupan, karena pribadi yang terpecah. Biasanya, pengidapnya tidak saling kenal, dan memiliki keahlian yang berbeda. Aku duga, kau hanya memiliki satu alter. Syukurlah, hanya satu. Dibanding dengan Billy Milligan yang memiliki dua puluh empat alter, ataupun Shirley Ardell Mason yang memiliki enam belas alter. MPD bisa dikarenakan masa lalu yang buruk, hingga pengidapnya membuat satu jiwa yang lain untuk melindungi pemilik tubuh. MPD terkadang tidak diakui oleh tidak sedikit psikiater, namun banyak juga penelitian membuktikan MPD benar-benar nyata.”
Dokter Hendri menjelaskan secara rinci. “Dan pasien pertamaku juga memiliki satu alter. Dia sembuh dengan jangka waktu tujuh tahun—waktu yang sangat lama, bukan?” Ia mengambil foto yang terselip di buku yang ada di mejanya. Ratna ikut melihat foto itu. Kenapa dia begitu mirip denganku, ternyata ada juga yang seperti aku. Tidak apa. Tidak masalah, batinnya.
“Alter, dalam bahasa latin yang berarti ‘aku yang lain’. Kau memiliki ‘aku’ satu lagi dalam pikiranmu. Boleh kucoba hipnotis untuk mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam masa lalumu?”
Ratna menggeleng keras. “Bagaimana bisa!? Aku bahkan sudah melupakannya dan sangat tidak tahu apa yang terjadi.”
Dokter Hendri tersenyum, “Nak, sebentar lagi kita akan tahu.”
****
Identitas asli Mama dan Ayah terkuak setelah Dokter Hendri berhasil bicara dengan Nabilah. Nabilah, berkata sebenarnya ia sangat bertolak belakang dengan Ratna. Nabilah yang sangat mandiri dan suka berbicara di depan umum, menyukai segala yang bebas dan gaya bicara yang keras, ngotot, dan aksen Arab yang kuat. Berbalik dengan Ratna yang diam, pasrah dan menurut, mereka sama-sama memiliki aksen Arab yang kuat.
Nabilah tahu Ratna, tentu saja. Namun Ratna belum tahu ada Nabilah dalam dirinya. Baru saat ini akhirnya Ratna mengenal Nabilah. Yang selama ini membisikinya. Yang selama ini membuatnya tampil percaya diri depan khalayak. Yang membuatnya lumayan tenar. Yang telah merebut setiap waktunya, pasti.
Dan soal Mama dan Ayah? Mereka bukanlah orang tua Ratna yang sebenarnya. Mama dan Ayah sama sekali tidak mewariskan hidung mancung atau rambut Ratna yang kemerahan sejak kecil, atau aksen Arab yang kental dari lisan Ratna.
Orang tua Ratna adalah saudara tetangga Ayah dan Mama. Tetangganya bernama Pak Jamal dan Bu Aaliyah, suami istri kewarganegaraan Palestina yang terpaksa mengungsi begitu jauh karena suatu hal, dan mereka menitipkan Ratna, kemenakan Pak Jamal, yang saat itu berusia tujuh tahun. Ratna sebenarnya bernama Amaliah. Mereka menjanjikan Ratna hanya dititipkan selama delapan tahun.
Tak lama, mereka kembali ke tanah airnya untuk alasan berjihad. Namun, lewat delapan tahun, Pak Jamal dan Bu Aaliyah tak kunjung tiba.
Orang tua Ratna? Mereka dibunuh tentara Israel di depan matanya. Di ruang tamunya. Tentara itu mendobrak pintu masuk saat mendengar Ratna melantunkan ayat tentang kaum Israil. Tepat disaat harusnya hari itu mereka berbahagia, karena Ratna telah menamatkan hafalannya pada kitab suci.
Ambisi Israel memang kuat ; melemahkan generasi Islam. Menjatuhkan harapan, menghancurkan setiap impian dan pegangan. Ratna kecil merasa seakan dunia hancur saat itu. Maka karena kekalutan yang sangat, ia memblokir setiap kenangan hitam dan menciptakan dirinya sendiri yang lebih kuat dalam alam bawah sadarnya. Ia menamainya Nabilah.
Selama ini, Mama dan Ayah berusaha menyembunyikan identitas asli Ratna. Namun, yang mereka bangun beberapa tahun ini, terbuka karena satu malam.
Siang ini, Mama dan Ayah telah tiba di rumah Dokter Hendri, walau pada awalnya Ratna memberontak marah-marah. “Ternyata mereka bukanlah orang tua kandungku!? Pantas saja,” geram Ratna. Dokter Hendri segera menenangkan Ratna, dan meminta Mama dan Ayah menuju ruang tamu. Setelah menenangkan Ratna, ia mencoba mencari cara agar alter Ratna—Nabilah—menyatu dengan Ratna kembali. Tidak ada peleburan kepribadian. Tidak ada kehidupan ganda. Ratna berhak bahagia dengan dirinya sendiri. Tidak ada orang lain.
“Ratna, ingin sembuh atau tidak?” Dokter Hendri duduk di kursi, menghadap Ratna yang termangu. Ratna menghentikan lamunannya, ia mengangguk cepat. Ia ingin segera memiliki dirinya sendiri. Hanya ia sendiri yang mengisi pikirannya.
Kau boleh menjadikanku sumber setiap keahlianmu.
Bisikan itu lagi. Namun kali ini tak ada nada kemarahan atau kesal di dalam bisikan itu, yang seperti biasanya. Ia terdengar, bahagia?
Ratna memejamkan mata, setelah Dokter Hendri berkata akan mempertemukan Ratna dan Nabilah. Ia siap.
Aku juga siap.
Dokter Hendri mulai menghipnotis Ratna.
“Nabilah? Bicaralah dengan Ratna.” Perubahan raut wajah Ratna mulai tampak.
Suara yang terdengar adalah nada keras. “Ahlan wa sahlan? Apa kabar Ratna?”
“Nabilah?”
“Maafkan aku selama ini. Aku hanyalah sebagian kecil dari penyimpanan memori dalam otakmu. Yang aku lakukan selama ini adalah selalu melindungimu. Aku tidak ingin kau melihat hal-hal seperti tujuh tahun lalu.”
“Aku... aku, berterima kasih dengan sangat, Nabilah,”
“Aku ingin menyatu kembali denganmu, Ratna. Menjadikanmu lebih tegas, berani dan berani berpendapat di khalayak ramai.”
“Tentu. Aku akan sangat senang.”
“Katakan selamat tinggal, Nabilah.” Dokter Hendri menegakkan tubuh, bersiap menyatukan Ratna dan Nabilah.
“Selamat tinggal, Ratna. Terima kasih dan maaf memperbolehkanku menggunakanmu untuk pidato saat malam itu. Kau tahu—aku benar benar menyukai pidato. Walaupun aku mungkin akan sedih melupakan teman imajinasiku, Aisha. Kau tahu? Aku menyukai pidato, karena aku ingin menolong rakyatku dengan setiap argumen dan pendapat. Tidak ada lagi darah. Tidak lagi ada kata tempur. Tidak ada lagi kekerasan di hadapan anak kecil.”
“Selamat tinggal juga, Nabilah. Terima kasih telah melindungiku selama ini, oh yaa tentu aku akan mengingatnya. Pidato—dan, Aisha? Haha. Iya,”
Kami siap.
Dokter Hendri tersenyum, terobosan baru. Pasien kedua begitu sukses. Tidak butuh waktu lama. Walau Nabilah telah menyinggahi pikiran Ratna selama delapan tahun.
“Ini—ini gila bukan? Aku berbicara dengan diriku sendiri.” Ratna beralih pada Dokter Hendri. Dokter Hendri menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak, kau tidak berbicara pada dirimu sendiri. Kau berbicara dengan dirimu yang lain. Dan, ah iya, kau siap?”
“Kami siap.” Ratna mengangguk.
Aku siap melengkapi Ratna.
****
Lima tahun kemudian, sejak Nabilah tidak lagi melebur dengan Ratna, dan meninggalkan Aisha yang hanya halusinasi kecilnya.
Ia telah menyatu dengan Ratna, dengan segala perbedaan dan keahlian.
Amaliah Jamal.
Nama itu bahkan terkenal sebagai duta besar Indonesia untuk Palestina. Tepat pada saat setelah Amaliah menyatu dengan jati dirinya yang lain, ia merasa sangat lega. Tak ada lagi kata dikuntit atau pikiran buruk. Tidak lagi bicara pada diri sendiri. Tidak lagi merasa waktu banyak terbuang karena dikendalikan orang lain.
Lulusan muda S2 di Medina University itu, kini menggunakan helai kain yang panjang dan jubah untuk menutupi setiap auratnya.
Duta muda itu melangkah percaya diri menghadapi kamera dan berbagai blitz. Khimarnya yang menutupi hingga lutut terpadu dengan jubah hitam yang membuatnya semakin anggun.
Ia, hari ini, berdiri tanpa gentar. Bersiap menyatakan setiap kata-katanya di hadapan berbagai perdana menteri, presiden dan pembesar negara dari berbagai negara yang diselaraskan dalam satu organisasi kemanusiaan dunia.
Ia berdeham sebentar, berpikir cepat apa yang harus ia katakan. Teoritis, kritis dan sistematis.
Ratna menatap berbagai warna dari manik mata di hadapannya, mengabaikan teriakan wartawan dan reporter tidak resmi di luar yang memaksa masuk ke ruangan penting itu, yang pada akhirnya berhasil dicegah oleh beberapa aparat keamanan. Hanya reporter resmi yang bisa merekam dan melihat semua secara langsung.
Ia menghembuskan nafas,
“Bismillah,” dia awali dengan ucapan yang membuatnya selalu merasa aman. Kemudian, ia mengeluarkan semua argumen dengan bahasa internasional.
“Sebelum saya ditugaskan kemari, saya sempat melihat berbagai berita tentang banyak ambulans beremblem palang merah, yang di bom oleh Israel. Kejadian itu tepat di tepian barat Gaza, yang, subhanallah, yang di bom hanyalah bagian belakang, letak pasien!”
Ia menahan nafas, mengedar pandang ke seluruh isi ruangan yang menatapnya dalam.
“Entah ini disengaja maupun tidak, saya tidak ingin berprasangka yang aneh-aneh. Namun, apabila kita kaji ulang kejadian itu, apakah bagian depan ambulans di bom? And the answer is : NO. Kap depan bahkan masih sangat mulus, tidak lecet, namun bagian pasien hancur, rusak parah. Jadi, tidak salah kalau banyak organisasi kemanusiaan menganggap Israel sengaja.
“Konvensi Jenewa telah secara tegas, melarang setiap kendaraan yang beremblem-kan palang merah atau bulan sabit yang telah terdaftar dengan resmi, untuk di bom, di rudal, atau di rusak dengan cara apapun itu. Dan Israel, telah merusak janjinya pada perjanjian dunia itu.” Ia mengangguk, tanda selesai dengan sekelumit pidato kecilnya. Yang mungkin sedikit, kecil, namun singkat, padat, dan bermakna.
Dan ya, memang, sepuluh menitnya mengubah nasib rakyatnya.
Aku menyukai pidato, karena aku ingin menolong rakyatku dengan setiap argumen dan pendapat.
Setiap manik mata yang ada di ruangan itu terkesiap. Semuda itu, seberani itu, setegas itu dihadapan semuanya. Ia begitu nekat.
Hakim di perserikatan itu mengetuk palu.
“Pembelaan dari Nona Amaliah Jamal, duta besar Indonesia untuk Palestina, diterima.” Sontak, ribuan pasang mata berbagai warna itu membeliak. Dunia terkesiap. Semuda itu, seberani itu, setegas itu, dan seberuntung itu hakim memberinya persetujuan untuk setiap pembelaan yang mengalir dari lisannya.
Sesaat kemudian, gaungan tepuk tangan terdengar riuh hingga luar gedung resmi itu. Amaliah turun dari podium, menundukkan pandang ke arah alas kakinya.
Aku menyukai pidato, karena aku ingin menolong rakyatku dengan setiap argumen dan pendapat.
---
Amaliah duduk di bebatuan yang sering ia duduki lima tahun silam setiap pulang sekolah. Padang rumput yang sama, dan keindahan senja yang sama.
Terngiang di benaknya, kata-kata dari dirinya yang lain, yang dulu pernah terlontar.
Aku menyukai pidato, karena aku ingin menolong rakyatku dengan setiap argumen dan pendapat.
Ia menopang dagu. Menolong, ya?
Kau dapatkan itu kan? Aku sudah menolongmu dan rakyatmu. Bukan—rakyat kita. Benaknya berkata-kata.
Amaliah bangkit, tersenyum senang dan melangkah riang. Membiarkan tudung kepalanya yang panjang dan jubah abu-abunya menyapu ilalang, sementara adzan mulai berkumandang dan langit beralih ke mega merahnya.
*Penulis merupakan santriwati Tazkia IIBS. Cerpen tersebut berhasil menjadi juara lima dari 2.043 naskah Lomba Menulis Cerita (LMC) SMP tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kemendikbud pada tahun 2015. Cerpen tersebut akan dibukukan oleh Kemendikbud. Selain itu, cerpen berjudul “Aku yang Lain” juga pernah dimuat di majalah Horison edisi Februari 2016.