Pesantren dan Pendidikan Kemandirian
Pesantren dengan segala macam bentuk dan modelnya, baik tradisional (salaf) ataupun modern (khalaf), telah diakui sebagai warisan bangsa Indonesia yang telah memberikan kontribusi besar dalam peradaban Indonesia. Bukan hanya karena sistem pendidikannya yang unik, tapi juga karena pendidikan model pesantren kaya dengan nilai (value), seperti nilai-nilai religiusitas, moralitas, sosial budaya dan nilai-nilai mulia lainnya. Semua nilai tersebut ditanamkan pendidikan kemandirian di pesantren.
Harus diakui bahwa sistem pendidikan pesantren menjadi modal yang kuat dalam pendidikan kemandirian. Sejak awal, ketika orang tua dan anak sudah mempunyai komitmen untuk memutuskan memilih pendidikan pesantren berarti ia telah siap mental untuk hidup mandiri. Perlu disadari bahwa tidak semua orang dengan mudah bisa masuk ke dunia pesantren, bukan karena tesnya yang superketat, tapi kondisi mentalnya yang belum siap. Kesiapan mental untuk hidup mandiri dan tidak selalu bergantung dengan orang lain adalah modal awal untuk sukses menimba ilmu di pesantren.
Pendidikan kemandirian di pesantren bukan hanya sekadar teori, tapi langsung dalam bentuk praktik aplikatif. Karakter kemandirian ditanamkan melalui setiap aktivitas yang dilakukan santri setiap harinya selama 24 jam. Mulai dari bangun tidur sampai bangun tidur kembali. Dengan melaksanakan tugas-tugas harian para santri dilatih untuk tidak bergantung kepada orang lain dalam menjalan tugas dan tanggung jawabnya. Mungkin sebagian orang menganggap aktivitas santri di pondok hal yang sederhana. Tapi sadar atau tidak, secara bertahap lewat kegiatan harian santri di pondok akan membentuk jiwa yang mandiri pada diri santri.
Belajar di pesantren memang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya seperti sekolah dan madrasah. Di pesantren seorang anak dituntut untuk mampu menjalankan tugas-tugasnya secara mandiri karena mereka tidak lagi bertemu orang tua setelah pulang sekolah. Di pesantren bukan hanya belajar tentang ilmu pengetahuan agama, umum, atau dalam istilah Imam al-Gazali ilmu fardhu ‘ain dan ‘ilmu fardhu kifayah, tapi lebih dari itu mereka belajar tentang kehidupan. Secara sederhana, pesantren dapat dikatakan sebagai miniatur kehidupan sosial-masyarakat, atau bahkan lebih dinamis. Sebab di pesantren ada peluang untuk berinteraksi lebih luas dengan berbagai macam karakter manusia dengan kebudayaan dan kultur yang berbeda.
Nilai-nilai kemandirian yang ditanamkan di dalam pesantren dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Pertama, kemandirian dalam beribadah. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren tentu akan menjadikan kemandirian dalam beribadah sebagai pondasi awal yang ditanamkan pada diri santri. Santri diajarkan tentang tanggung jawab seorang hamba kepada Tuhan-nya. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk penguatan ruhiyah santri (taqwiyah ruhiyah). Implementasi programnya dalam bentuk bimibingan ibadah, pendampingan dan pengawasan. Bimbingan diberikan dalam bentuk pengajaran yang dimulai dengan pemahaman bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT dan tata cara (kaifiyat) ibadah. Sementara pendampingan dan pengawasan diberikan dalam bentuk pemantauan secara terstruktur dan sistematis untuk memastikan para santri telah melaksanakan ibadah secara baik dan benar, seperti shalat, puasa dan lain-lain.
Kedua, kemandirian dalam belajar. Salah satu ciri pendidikan yang baik adalah yang menyiapkan anak didiknya untuk jadi pembelajar sejati sepanjang hayat. Idealnya pendidikan mengajarkan pilar-pilar penting dalam pendidikan seperti how to be (belajar untuk membentuk diri), how to do (belajar untuk berbuat) , how to lern (belajar untuk belajar) dan how to life together (belajar untuk hidup bersama). Pilar-pilar tersebut semuanya ditanamkan di dalam pesantren. Perkataan hikmah dari ulama salaf, uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi, tuntutlah ilmu dari buaian ibu hingga masuk liang lahat, senantiasa menjadi motto utama.
Ketiga, kemandirian dalam tanggungjawab dan tugas pribadi. Tidak semua orang mampu untuk menjalankan tugas-tugas dan tanggungjawab pribadinya. Oleh karena itu, pesantren sebagai tempat untuk belajar kehidupan melatih para santri untuk senantiasa mandiri dalam melaksanakan tugas pribadi hariannya. Mulai dari mencuci dan menyetrika pakaian, bangun dan mandi pagi, bersih-bersih diri, bersih lingkungan asrama, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan suatu proses untuk mencetak anak supaya memiliki jiwa kemandirian dan tidak bergantung kepada orang lain.
Lain dari pada itu, untuk memupuk jiwa kemandirian dan tanggungjawab santri di pesantren juga diajarkan tentang leadership. Maksudnya bukan belajar tentang beragam macam teori leadership, tapi lebih kepada pembentukan jiwa leadership. Hal ini diimplementasikan dalam bentuk program-program pemberian tanggungjawab dan wewenang khusus kepada santri untuk mengelola berbagai macam program di pesantren. Biasanya di setiap pesantren ada organisasi khusus yang memang sengaja diamanahkan kepada santri untuk menggerakkan program. Dengan ini sesungguhnya santri sedang belajar bagaimana mengendalikan diri sendiri dan orang lain.
Perlu disadari bahwa kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh kematangan dan kemandiriannya dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan nilai-nilai kemandirian diharapkan untuk terus memperkuat eksistensinya dalam mendidik generasi bangsa yang kuat dan mandiri. Rasulullah SAW sukses dalam membangun peradaban mulia tidak lepas dari pendidikan kemandirian langsung dari Allah. Kondisi yatim beliau sejak kecil telah membentuk jiwa beliau kuat dan mandiri serta tidak bergantung kecuali hanya kepada Allah SWT.
Banyak pesan dari ulama-ulama terdahulu untuk senantiasa memperkuat jiwa kemandirian. Misalnya, Imam Syafi’i yang selalu berpesan untuk merantau dalam mencari ilmu, bahkan kalau bisa meninggalkan negeri. Hal ini tidak lain dan tidak bukan hanya untuk melatih jiwa mandiri dan kesungguhan dalam belajar. Dalam salah satu syairnya Imam Syafi’i mengatakan, ‘safir tajid ‘iwadan ‘amman tufariquhu, wanshab fainna ladzidzal ‘aisyi finnashab, merantaulah niscaya engkau akan mendapatkan gantu dari orang-orang yang engkau tinggalkan, dan bekerja keraslah karena lezatnya hidup ada dalam kerja keras. Perkataan lainnya, ‘orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman, tinggalkan negerimu dan hidup asinglah di negeri orang.’
*Penulis: Muhammad Rajab, M.Pd.I
Direktor of Ma’had and Islamic Studies, Tazkia International Islamic Boarding School, Malang