Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren
Sejak awal berdirinya hingga abad ke-21, pendidikan berbasis pesantren di Indonesia telah banyak memberikan kontribusi besar dalam kemajuan perdaban bangsa Indonesia. Bukan hanya dalam kehidupan sosial (al-ijtim’iyah) tapi juga sudah menyentuh pada aspek kehidupan ekonomi (al-iqtishadiyah) dan politik (al-siyasiyah). Pengaruh yang besar tersebut tidak lepas dari pola dan sistem pendidikan yang diterapkannya.
Sistem yang diterapkan di pesantren tidak lepas dari filosofi penamaan pondok pesantren itu sendiri. Secara bahasa berasal dari dua kata yakni pondok dan pesantren. Pondok berasal dari kata Arab “funduq” yang berarti hotel. Sementara pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan “pe” dan berakhiran “an”, yang berarti tempat tinggal para santri. Profesor Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Dari sini bisa diambil makna bahwa pondok pesantren adalah tempat yang di dalamnya terdapat orang-orang yang belajar tentang kitab suci dan ilmu-ilmu agama.
Di awal berdirinya, pendidikan berbasis pesantren dibangun di atas sistem salaf (tradisional). Sistem ini memiliki lima ciri utama yang membedakannya dengan pendidikan pada umumnya, yaitu pondok (asrama), kyai, santri, masjid, pengajaran kitab. Pondok sebagai tempat tinggal utama para santri selama proses belajar. Di dalamnya ada seorang kyai yang menjadi uswah (contoh) atau figur, pengajar dan sekaligus menjadi pimpinan. Sementara masjid adalah sebagai pusat (core) yang didefinisikan menjadi tempat pembinaan spiritual para santri dan pengajaran kitab. Karena pada awal kemunculannya memang pesantren tidak menggunakan kelas sebagai tempat pembelajaran.
Di antara beberapa elemen atau unsur tersebut yang paling menonjol dan menunjukkan kelebihan serta ciri khas pesantren salaf adalah pengajaran kitab “kuning”. Bisa dikatakan bahwa pesantren belumlah ideal dikatan sebagai pondok pesantren salaf jika di dalamnya tidak ada ta’lim (pengajaran) kitab “kuning”. Kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren model salaf dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok jenis ilmu pengetahuan, yaitu nahwu (syntax) dan shorof (morfologi), fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawwuf dan etika, serta cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Pesantren model salaf ini tidak mengajarkan pelajaran umum.
Para kyai/ustadz menggunakan sistem sorogan dan bandongan dalam mengajarkan kitab-kitab tersebut kepada santrinya. Jadi, santri membaca kitab di hadapan kyai atau Kyai membaca atau mengajarkan kitab di hadapan para santri dengan membentuk suatu lingkaran (halaqah). Setiap kata dalam kitab yang berbahasa Arab tersebut diterjemahkan berdasarkan makna harfiyah secara langsung ke dalam bahasa daerah, seperti jawa, madura atau lainnya.
Walaupun menggunakan sistem ini, pada kenyataannya para kyai tidak hanya sekadar membicarakan bentuk (form) dengan melupakan isi (content) ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab klasik tersebut. Para kyai atau ustadz sebagai pembaca dan penerjemah kitab tersebut bukanlah sekadar membaca teks, tetapi juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa pada teks. Dengan kata lain, para kyai juga memberikan komentar atas teks sebagai pandangan pribadinya. Oleh karena itu, mereka harus menguasai tata bahasa Arab, literatur dan cabang-cabang ilmu agama Islam yang lain.
Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, pesantren terus berkembang mengikuti irama dinamika kehidupan masyarakat. Jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Sistemnya pun juga terus mengalami perubahan dan perbaikan mengikuti kebutuhan masyarakat serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip dasar pesantren. Fleksibilitas pesantren dalam menyesuaikan dengan Lingkungan inilah menurut Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya yang menjadi “rahasia” kesuksesan pesantren untuk tetap eksis dan menjadi pilihan masyarakat hingga saat ini.
Oleh karena itu, muncullah sistem pendidikan pesantren dengan wajah berbeda dan model baru seperti sistem khalaf (modern). Sistem modern ini merupakan jawaban atas dinamika perkembangan masyarakat. Walaupun demikian, sistem modern tidak serta merta meninggalkan pondasi-pondasi pesantren yang dikembangkan dalam model tradisional (salaf). Sistem modern ini hanyalah melakukan modifikasi dan penambahan-penambahan apa yang tidak ada sebelumnya.
Misalnya, pembelajaran yang pada model salaf hanya dilakukan dengan bentuk halaqah di masjid-masjid atau di surau-surau, pada sistem khalaf sudah dilaksanakan di kelas-kelas seperti halnya di sekolah. Metode pengajaran tidak hanya bandongan dan wetonan tapi sudah berkembang dengan metode baru seperti diskusi, demonstrasi dan lainnya. Pesantren khalaf sudah mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam kurikulumnya dimana pada sistem salaf hal ini tidak ditemukan.
Tidak berhenti di situ, sistem pendidikan pesantren pun terus melakukan modifikasi dan penyesuaian. Misalnya, melihat kebutuhan masyarakat akan pendidikan formal maka kemudian pengurus lembaga atau yayasan sudah mulai memasukkan pendidikan formal (sekolah) seperti SMP/SMA atau yang sederajat ke dalam lembaganya, yang pada awalnya hanya pesantren. Walaupun pesantren terus mengalami perubahan bukan berarti pesantren dengan sistem salaf kemudian menjadi tidak ada. Perkembangan inilah yang menjadikan khazanah pendidikan pesantren semakin luas dan beragam. Dengan ini masyarakat Indonesia bisa menentukan pilihan (choice) pesantren yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Untuk memperkuat eksistensi pesantren diperlukan penguatan manajemen dengan menerapkan manajemen modern strategis di dalam pengelolaannya. Manajemen modern bukan berarti untuk menghilangkan nilai-nilai dan kultur pesantren itu sendiri, tapi untuk mempercepat dan mempermudah dalam internalisasi nilai-nilai itu sendiri.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan, al-haqqu bila nidzamin yaghlibuhul bathil binidzamin, kebenaran yang tidak terorganisir dengan baik akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir dengan baik.
Secara sederhana manajemen tersebut dapat digambarkan dengan siklus Plan, Do, Check, Act (PDCA). Artinya semua program yang akan dilaksanakan (doing) di dalam pesantren harus diawali dengan proses perencanaan yang baik (planning). Apa yang telah direncanakan dibuatkan sistem kontrol dan evaluasi untuk memastikan program berjalan sesuai dengan yang diharapkan (check). Terakhir, hasil kontrol dan evaluasi menjadi rekomendasi untuk melakukan perbaikan di pelaksanaan program berikutnya (act).
Artikel dimuat di halaman Bhirawa Online
oleh: Muhammad Rajab, M.Pd.I (Director of Ma'had and Islamic Studies)